Universitas Gadjah Mada (UGM) akan menggelar pentas wayang kulit semalam suntuk dengan lakon “Wahyu Cakraningrat”. Pentas wayang kulit dengan dalang Ki Purbo Asmoro ini merupakan rangkaian kegiatan dalam memperingati Dies Natalis ke-60 UGM. Pentas akan digelar pada hari Kamis, 17 Desember 2009 mendatang, mulai pukul 20.00 hingga selesai di halaman Balairung, Kantor Pusat UGM.
“Sengaja kami memilih lakon “Wahyu Cakraningrat” karena ada aspek religius dan pesan pada generasi muda kampus yang nanti jadi pemimpin,” kata Prof. Timbul Haryono, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM, di kampus setempat, Selasa (15/12).
?Perhelatan seni tradisi yang digelar pada malam 1 Muharam tersebut selain aspek religius juga menyimpan harapan bagi civitas akademika agar dalam menjalani tahun baru, sesuai dengan penanggalan Jawa, bisa mendapatkan keutamaan ilmu pengetahuan. Karena di dalam jalan cerita tersebut terkandung banyak nilai-nilai keutamaan yang bisa dijadikan pegangan hidup dan menjadi ilmu pengetahuan.
Cakraningrat pada intinya adalah pesan bagi generasi muda kampus yang kelak menjadi pemimpin di masa depan. Mereka diharapkan mampu meneladani perjalanan tokoh Abimanyu dan belajar pula dari tokoh Lesmana Mandrakumara dan Samba yang tidak semuanya mendapat ‘wahyu’ dalam perjalanan kehidupannya. “Abimanyu itu anak Arjuna. Mereka itu ibaratnya wakil generasi muda yang nanti memimpin bangsa,” kata Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM, yang belum lama memasuki masa pensiun.
Masing-masing tokoh sentral dalam lakon “Wahyu Cakraningrat” patut meneladani sifat-sifat anak-anak Pandawa, Kurawa, dan Prabu Kresna. Pertunjukan wayang juga menjadi rujukan bagi generasi muda yang diharapkan menjadi pemimpin di masa depan agar dapat seperti Abimanyu yang mendapat ilmu. “Bukan seperti Lesmana Mandrakumara, anak Duryudana, yang ternyata tak bisa berbuat apa-apa. Kalau sekarang, ya anak muda yang tidak memiliki IQ tinggi sekalipun kaya raya,” katanya.
Ki Purbo Asmoro, dalang wayang kulit dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, menjelaskan lakon “Wahyu Cakraningrat” sendiri salah satunya berkisah tentang Abimanyu dan Sumbadra sebagai kstaria yang merasa terpukul hatinya melihat kekacauan dunia, terpuruknya tata kehidupan, dan hilangnya peri kemanusiaan. “Ia ingin berbuat sesuatu untuk meringankan beban penderitaan rakyat, mengentaskan kemiskinan, dan memperbaiki kondisi dunia yang luluh lantak akibat ulah manusia tak bermoral,” kata dalang yang telah banyak tampil di berbagai kota di Amerika Serikat, Inggris, hingga Yunani itu.
Dalam kesempatan terpisah, Prof. Sutaryo, Ketua Senat Akademik UGM, mengatakan pentas wayang kulit dengan tema “Wahyu Cakraningrat” cocok dengan filosofi universitas yang menjadi balai nasional ilmu dan kebudayaan. Dua nilai penting, yaitu berkepribadian dan berilmu, menjadi tekanan penting bagi mahasiswa yang kini belajar di kampus. “Wayang, saya harapkan bisa jadi tontonan yang berperan besar. UGM, selain menampilkan kesenian modern, seperti jazz, tak lupa juga tampilkan seni tradisi, seperti wayang kulit,” ujar Sutaryo.
Sementara itu, Sekretaris Eksekutif UGM, Drs. Djoko Moerdiyanto, M.A., menambahkan mendekati puncak peringatan Dies ke-60 UGM yang jatuh pada 19 Desember 2009, akan diselenggarakan acara pemberian penghargaan pada insan berprestasi UGM, Rabu, 16 Desember 2009 di Grha Sabha Pramana. “Sementara itu, dua penerima HB IX Award tahun 2009, Prof. Dr. Soekotjo dan Dr. dr. Sudiharta akan melakukan orasi ilmiah di Pagelaran Kraton Yogyakarta pada hari Sabtu, 19 Desember 2009 malam,” jelas Djoko Moerdiyanto. (Humas UGM/Agung)