Guru Besar Sejarah UGM, Prof. Dr. Djoko Suryo, menyampaikan ketidaksetujuannya apabila buku ‘Gurita Cikeas’ karya Dr. George Junus Aditjondro dilarang beredar di masyarakat. Menurut Djoko, upaya pelarangan tersebut tidak sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang yang sudah semakin kritis dan cerdas dengan adanya keterbukaan informasi. Sebaliknya, dirinya menyarankan kepada pihak yang merasa dirugikan oleh terbitnya buku tersebut untuk menulis buku tandingan.
"Pelarangan saya kira tidak menyelesaikan masalah, dijawab dengan penulisan buku yang lain sebagai counter sehingga masyarakat semakin menjadi cerdas,” kata Djoko Suryo menjawab pertanyaan wartawan terkait dengan polemik buku ‘Membongkar Gurita Cikeas’, Rabu (30/12), di University Club (UC) UGM. Pernyataan itu disampaikan Djoko dalam acara perayaan ulang tahunnya yang ke-70 dan peluncuran bukunya ‘Transformasi Masyarakat Indonesia: dalam Historiografi Indonesia Modern’.
Diakui oleh pria kelahiran Pekalongan, 30 Desember 1939 ini, dengan adanya penulisan buku tandingan dari buku ‘Membongkar Gurita Cikeas’, masyarakat dapat memperoleh informasi secara menyeluruh dan tidak sepihak. “Ilmu sejarah saja tidak mutlak. Kita bisa melakukan argumentasi, konstruksi, karena sejarah itu sangat dinamis, bisa diinterpretasi, tidak terpaku pada satu sisi, harus diimbangi sisi yang lain sehingga orang bisa melihat secara utuh,” kata suami Suryaningsih ini.
Menjawab pertanyaan wartawan terkait harapannya setelah memasuki usia 70 tahun, Djoko Suryo mengaku masih memiliki keinginan untuk menjadi guru bagi anak bangsa. Ia ingin terus mengabdi sebagai akademisi untuk mengajar dan mendidik muridnya menjadi intelektual yang cerdas, arif, dan dapat menjadi pemimpin dan panutan masyarakat. “Senang kalau anak murid bisa jadi apa sebetulnya saya harapkan karena banyak murid saya yang tersebar di mana-mana,” katanya bangga.
Selain itu, bapak tujuh anak ini juga ingin terus menulis buku sejarah visioner. Menurutnya, sejarah itu memiliki proyeksi masa depan dan membawa pencerahan yang ingin dicapai bangsa Indonesia. “Sejarah ditulis untuk memprediksi masa depan, membuat proyeksi kebijakan bagi pemegang kebijakan agar terhindar dari pengalaman yang tidak baik di masa lampau,” jelasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)