Yogya (KU) – Kegagalan negara dalam memberikan pelayanan publik yang baik bagi masyarakat menjadi salah satu penyebab suburnya praktik politik uang dalam pemilu kepala daerah (pemilukada). Buruknya pelayanan publik ini terbukti menjadi komoditas politik bagi kandidat untuk memperoleh dukungan suara dari pemilih.
Hal tersebut mengemuka dalam Diskusi Bulanan “Politik Uang dalam Pemilukada” yang digelar di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Kamis (6/5) sore. Hadir selaku narasumber, Guru Besar Ilmu Sosiatri UGM, Prof. Dr. Susetiawan, dan pengamat politik UGM, Wawan Mas’udi, S.I.P., M.P.P.
Susetiawan mengatakan buruknya pelayanan publik yang dilakukan negara justru dimanfaatkan kandidat untuk tawar-menawar dengan calon pemilihnya, misalnya, dalam bentuk janji pembangunan, jembatan, gorong-gorong hingga pengaspalan jalan. “Tawar-menawar ini justru menjadi politik uang di tengah masyarakat dengan diiming-imingi janji seorang kandidat,” katanya.
Memilih kandidat atas dasar janji, menurut Susetiawan, merupakan arena politik yang dilakukan para elit di daerah. Kondisi ini tidak mendorong terbentuknya budaya politik masyarakat menjadi lebih baik. “Yang terjadi sekarang ini, atas dasar pertimbangan apa pemilih memilih kandidat. Karenanya, permainan uang tetap mewarnai demokrasi yang kini sedang berjalan,” tambahnya. Tingkat kesadaran dan partisipasi politik masyarakat yang masih rendah menyebabkan kian maraknya fenomena pertimbangan uang untuk memilih kandidat.
Pendapat senada disampaikan Wawan Mas’udi. Menurutnya, politik uang sangat determinan dalam demokrasi di Indonesia. Politik uang merupakan kecenderungan negara yang telah menempatkan proses pemilihan demokratis dalam sistem politik mereka. Padahal, dalam sistem demokrasi yang sehat, uang seharusnya lebih digunakan sebagai alat untuk mengemas ide dan gagasan. Dengan uang tersebut, ide dan gagasan digunakan untuk menjangkau pemilih. “Sebaliknya di Indonesia, uang berfungsi dramatis. Uang tidak sebagai instrumen, tapi menjadi substansi. Cara memperoleh dukungan dalam bentuk uang bantuan aspal, jembatan, dan gorong-gorong,” jelasnya.
Maraknya politik uang dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia akan terus berlangsung sepanjang kondisi struktur masyarakat masih timpang dalam hal tingkat pendidikan, informasi, dan pengetahuan, juga masih kuatnya kepentingan bisnis yang bermain dalam pemilukada. (Humas UGM/Gusti Grehenson)