Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah telah banyak melakukan upaya pembangunan berkelanjutan. Meski demikian, kualitas pembangunan sosial sejatinya tidak cukup dinilai dengan target-target atau besaran anggaran yang dialokasikan negara.
“Penguatan pembangunan sosial tidak cukup hanya memperhatikan seberapa besar kebijakan sosial diselenggarakan oleh negara dan berapa besar anggaran negara dialokasikan untuk itu tanpa berpikir implikasi lebih jauh yakni masuk dalam kondisi ketidakberdayaan,” tutur Prof. Dr. Susetiawan, SU, Selasa (23/10).
Hal ini ia sampaikan dalam seminar nasional bertajuk “Strengthening Social Development to Achieve the Sustainable Development Goals (SDGs)” yang diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis FISIPOL ke-63. Dalam pidato kunci yang ia sampaikan, dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan ini memaparkan kerangka pemikiran terkait upaya membongkar pengetahuan common sense sebagai sumber pendangkalan tindakan emansipatoris.
Susetiawan menyebut bahwa pemberdayaan memiliki makna emansipatoris, suatu pembebasan dari struktur sosial yang tidak ramah, diskriminatif, dan menindas, menjadi struktur sosial yang humanis, yang memanusiakan manusia, dan berkeadilan.
Sementara itu, common sense ia lihat sebagai tindakan yang selalu dilakukan atas dasar penginderaan, yaitu ketika sesuatu yang dilihat kemudian ditangkap sebagai kebenaran dan ditirukan. Hal ini menjadikan empowerment sebagai sebuah kelatahan mulut sehingga semua orang bisa bicara mengenai pemberdayaan tanpa memahami esensi sesungguhnya dari pemberdayaan.
“Bagaimana SDGs dapat dicapai kalau terdapat tindakan pendangkalan, pemikiran masyarakat masih dalam cara pikir common sense. Jangan-jangan orang melakukan program pembangunan hasilnya bukan empowering tetapi justru menjauhkan dari sikap kemanusiaan,” ucapnya.
Karena itu, menurutnya, menjadi tugas besar bagi orang-orang yang berkecimpung di dunia pembangunan sosial untuk membongkar persoalan di dalam cara berpikir ini, bukan sekadar fokus pada 17 indikator SDGs sebagai standar utama pembangunan sosial.
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Dr. Janianton Damanik, M.Si. memaparkan tantangan yang dihadapi Indonesia terkait upaya percepatan pembangunan sosial. Beberapa tantangan yang ia sebutkan di antaranya pengurangan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan atau kepuasan subjektif atas kehidupan sehari-hari, serta ketersediaan atau ketahanan pangan.
Selain itu, jaminan kesehatan juga ia pandang menjadi hal yang penting untuk diatasi karena program jaminan kesehatan yang baik dapat mendukung penciptaan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu bekerja dengan produktivitas tinggi. Dalam menjawab berbagai tantangan ini, ia menekankan pentingnya keterlibatan dari sektor privat untuk mendukung kebijakan pembangunan oleh pemerintah.
“Sektor privat memainkan peran krusial dalam realisasi SDGs dalam bentuk inovasi, kecepatan merespons perubahan teknologi, efisiensi, serta pengembangan keterampilan,” terang Anton.
Di samping kedua pembicara tersebut, seminar ini juga menghadirkan Staf Ahli Menteri PPN bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan, Rahma Iryanti, serta Senior Officer Membership and Partnership INFID, Hamong Santono.
“Tema seminar ini sangat tepat dibahas oleh para pembicara yang memang bersinggungan langsung dengan isu pembangunan sosial. Mudah-mudahan dari seminar ini bisa muncul pemikiran-pemikiran yang bisa diadposi ke dalam kebijakan pemerintah,” kata Dekan FISIPOL, Dr. Erwan Agus Purwanto. (Humas UGM/Gloria)