Sebuah gerobak dorong berada di depan halaman rumah Laponi (43) yang berada di Kelurahan Mandonga, Kendari, Sulawesi Tenggara. Dari gerobak inilah asap dapur keluarga Laponi dan Ruwaeda bisa terus mengepul. Setiap sore, ia bersama istrinya mendorong gerobak ini ke lokasi tempat mereka berjualan di sebuah taman kota di Kendari yang berjarak sekitar 500 meter dari tempat tinggalnya.
Ditemui di rumahnya yang berada di Jalan Made Sabara 1, Jumat (9/10), Laponi menempati rumah kayu, beratap seng tanpa plafon berlantai semen kasar. Di ruang tamu berukuran sempit tersebut, hanya terdapat tiga kursi plastik berwarna merah. Lalu di sudut ruang yang berpapasan dengan jendela depan, sebuah meja kayu yang sudah rapuh dan lapuk. Hanya saja permukaan meja dilapisi dengan karpet plastik. Persis di atas meja terdapat dua papan kayu yang menempel di dinding untuk tempat buku.
Menurut Laponi, di meja yang sudah termakan rayap itulah, kedua anak kembarnya, Hafiad dan Nassar biasa melakukan aktivitas belajar di malam hari. Praktis satu meja untuk belajar dua orang yang mengandalkan lampu redup di ruang tamu. Tapi, siapa sangka dari meja inilah, Laponi patut berbangga pada kedua anak laki-lakinya itu. Keduanya kini telah diterima kuliah di Perguruan Tinggi Negeri. Nassar diterima di prodi Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari. Sedangkan Hafiad diterima di prodi Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM).
Selain Nassar dan Hafiad, Laponi memiliki anak bungsu yang baru saja masuk pendidikan sekolah dasar. Tentu tidak sedikit uang yang harus dikeluarkan Laponi untuk membiayai sekolah ketiga anaknya dalam waktu hampir bersamaan. Padahal, penghasilan Laponi tidaklah banyak sebagai penjual minuman. Awalnya, Laponi mengaku sempat khawatir ia tidak mampu membiayai kuliah dua anaknya kelak. Sebab, dari berjualan aneka minuman, uang hasil penjualan yang didapatnya tidaklah banyak. “Sehari nggak tentu, kadang 100 ribu, kadang 150 ribu, kadang 50 ribu,” kata Bapak kelahiran Raha, Kabupaten Muna ini.
Setiap hari, Laponi berjualan sejak jam 4 sore hingga 11 malam. Saat berjualan ia dibantu oleh istrinya. Saat masih memakai seragam sekolah, kata Laponi, Hafiad sering ikut membantunya berjualan. Namun bila hari sudah petang, ia meminta anak-anaknya untuk lekas pulang, melaksanakan ibadah ke masjid dan setelah itu melanjutkan belajar di rumah. “Pulang sekolah saya selalu suruh mereka belajar saja,” katanya.
Laponi bercerita Hafiad dan Nassar termasuk tipe anak yang tidak pernah mengeluh dan selalu mengerti akan kondisi ekonomi keluarga. Mereka tidak pernah memaksa orang tuanya membelikan sepatu dan baju baru, bahkan sepatu sekolah yang sudah robek pun masih akan tetap dipakai apabila dikira masih layak. “Ia penurut, tidak mengeluh, apa adanya dia pakai. Itu sepatunya masih sobek, saya kumpulkan saja,” kata Lapponi seraya menunjukkan sepatu bekas Hafiads yang masih ia simpan rapi di rak sepatu kayu yang berada persis belakang pintu.
Meski hidup dengan kondisi pas-pasan, Laponi selalu mengajarkan anak-anaknya agar tidak pernah mengeluh dengan keadaan. Dia selalu berpesan pada anak-anaknya agar selalu tekun belajar agar semua yang dicita-citakan tercapai. “Saya sarankan, kau belajar sekolah baik-baik, sebagai pengganti saya, biarlah saya begini saja, bagaimana juga orang tua ya begini keadaanya, kamu orang sekolah, kondisi keadaan begini, sekolah baik-baik, mudahan-mudahan kamu orang sukses,” kata Laponi.
Beruntung bagi Laponi, Hafiad yang baru masuk kuliah di UGM mendapat bantuan beasiswa Bidikmisi sehingga dibebaskan dari biaya kuliah selama delapan semester. Dengan begitu, bisa meringankan biaya kuliah yang harus dikeluarkan pria yang sejak muda sudah berjualan minuman gerobak ini (Humas UGM/Gusti Grehenson;foto: Budi H)