Dunia berubah dengan sangat cepat ketika inovasi dan teknologi menyentuh berbagai aspek kehidupan bahkan mampu mengubah cara konvensional dalam berbisnis, pergaulan, dan pengelolaan berorganisasi. Model bisnis yang dikembangkan oleh Amazon, Uber dan Alibaba.com, misalnya, makin menyadarkan banyak orang tentang pentingnya prinsip ekonomi berbagi bahkan menemukan cara pandang yang berbeda dalam sebuah penyelesaian permasalahan dengan menghasilkan produktivitas tinggi, berbiaya murah, dan kemudahan layanan.
Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., mengatakan perubahan dunia lewat perkembangan inovasi teknologi tersebut mau tidak mau menuntut perguruan tinggi seperti UGM untuk ikut berbenah diri dan terus mendorong lahirnya berbagai karya inovasi. Perubahan status UGM menjadi PTNBH memberikan ruang gerak untuk lebih leluasa dalam berinovasi guna mencapai kemajuan. Namun, ruang gerak yang diberikan lewat regulasi tersebut dinilainya belum mampu memenuhi ekspektasi dari kebutuhan terhadap ruang untuk bisa berinovasi secara optimal. “Perguruan tinggi memerlukan fleksibilitas dan keberanian dalam mengambil risiko yang terukur. Sempitnya ruang gerak ini tidak akan menyurutkan langkah UGM untuk berbenah diri, UGM tetap fokus pada pendidikan tinggi yang berkualitas dan kompetitif,” kata rektor pada pidato sambutan upacara wisuda program pascasarjana di Grha Sabha Pramana, Kamis (19/10).
Menindaklanjuti tantangan tersebut, rektor menegaskan bahwa UGM secara mandiri maupun dengan para mitra sudah merintis dan mengembangkan beberapa model pendidikan yang berpotensi untuk menghasilkan karya inovasi teknologi. Beberapa strategi yang kini dilakukan yaitu dengan merekrut calon mahasiswa yang selama ini terabaikan oleh sistem penerimaan mahasiswa baru. Jalur masuk lewat SNMPTN, SBMPTN, UTUL/UM, kata rektor, memang telah menjadi pola terstruktur dalam pola penerimaan mahasiswa baru. Namun, tidak meratanya kualitas pendidikan di tingkat menengah atas di Indonesia mengakibatkan cara konvensional tersebut mengabaikan potensi lain yang dimiliki oleh calon-calon yang secara kebetulan tidak masuk dalam pendidikan menengah atas berkualitas tinggi. Selain itu, model seleksi juga perlu dilengkapi dengan lebih baik lagi sehingga mampu mengidentifikasi potensi yang tidak hanya bersifat pengetahuan semata. “Instrumen berbeda terus kita kembangkan untuk menjaring potensi yang sementara ini dianggap sebagai nonmarket,” katanya.
Seperti diketahui, kali ini UGM mewisuda sebanyak 1.260 orang lulusan pascasarjana. Lulusan termuda untuk program master diraih oleh Muhammad Fajar Marsuki dari Prodi Ilmu Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) yang meraih gelar master pada usia 22 tahun 8 bulan 21 hari. Lulusan termuda untuk program spesialis diraih oleh Septriyani Kaswindiarti dari Prodi Ilmu Kedokteran Gigi Anak, Fakultas Kedokteran Gigi, yang lulus pada usia 28 tahun 27 hari. Sedangkan lulusan termuda untuk jenjang S3 diraih oleh Rony Marsyal Kunda dari Prodi Ilmu Sain Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, yang berhasil meraih gelar doktor pada usia 30 tahun 7 bulan 8 hari.
Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tertinggi untuk lulusan jenjang master diraih oleh 20 orang yang memiliki IPK 4,00. Dari 20 orang tersebut, satu di antaranya yang lulus dengan waktu studi paling singkat diraih oleh Yuli Triyani dari Prodi Teknik Elektro, Fakultas Teknik. Lalu IPK tertinggi untuk jenjang spesialis diraih Yenny Yokung Yong dari Prodi Periodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi, yang lulus dengan IPK 3,96. Sedangkan IPK tertinggi untuk lulusan program doktor diraih oleh Aulia Nusantra dari Prodi Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian, yang lulus dengan IPK 4,00. (Humas UGM/Gusti Grehenson;foto: Ega)