Institute of International Studies (IIS) Universitas Gadjah Mada dan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Wakaf Paramadina bekerja sama menerjemahkan buku “Hate Spin” karya Cherian George. Buku karya profesor jurnalisme dari Hong Kong Baptist University tersebut selanjutnya diterjemahkan menjadi “Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya bagi Demokrasi.” Secara resmi buku itu diluncurkan pada kamis (21/12) di Ruang Auditorium Lantai 4 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.
Pada peluncuran buku “Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya bagi Demokrasi” juga diselenggarakan diskusi terkait buku itu dengan menghadirkan beberapa pembicara, yakni Zainal Abidin Bagir (Ketua Prodi Agama dan Lintas Budaya UGM), Widiarsi Agustina (Redaktur Pelaksana Tempo), dan Irsyad Rafsadie (Editor buku dan Peneliti PUSAD).
Menurut Irsyad, buku ini berdasar kegelisahan Cherian George melihat naiknya ancaman politik pertikaian agama yang dia sebut “pelintiran kebencian terhadap demokrasi. Demokrasi terancam ketika kelompok rentan terus mengalami intimidasi atau diskriminasi dan suara-suara yang dianggap melukai perasaan kelompok dominan yang semakin dibungkam. Irsyad melanjutkan bahwa dalam buku ini George mengajak berbagai pihak untuk lebih mendorong kesetaraan warga negara dan tidak gegabah dalam mempidanakan ujaran.
“Buku ini memberikan peringatan yang penting diperhatikan untuk menangkal kebencian dan menyingkap kepentingan para aktor politik di baliknya,” ujar Irsyad.
Sementara itu, Zainal menjelaskan pola pelintiran kebencian yang terjadi akhir-akhir ini. Menurutnya ada berbagai tindakan pelaku pelintiran kebencian. Tindakan-tindakan yang dilakukan tersebut, seperti penegasan eksistensi diri, klaim diri sebagai korban hingga menuntut kehormatan. “Di beberapa negara, arena pelintiran kebencian itu mengarah pada pertarunga politik, lebih spesifik yakni pemilihan umum,” terang Bagir.
Labih lanjut Bagir menerangkan George menyarankan sebuah solusi dengan pluralisme asertif. Istilah tersebut merujuk pada tatanan konstitusional yang multikultur dan melindungi kesetaraan lebih unggul daripada pengistimewaan salah satu identitas agama dan budaya. Pluralisme asertif tidak menafikan identitas keagamaan seseorang tetapi menuntut agar orang-orang tak menyangkal keberagaman lain. Selain itu, pluralisme asertif tidak menafikan peran agama dalam kehidupan publik negara demokrasi. Namun, menentang keras pandangan bahwa legitimasi dan penghormatan hanya dapat diperoleh satu agama saja serta mengesampingkan agama lainnya.
“Hate spin adalah tindakan politik yang dilakukan oleh wirausahawan politik untuk mencapai tujuan politik bukan soal agama, tetapi modus politisasi agama,” tambahnya. (Humas UGM/Catur)