Penggunaan teknologi yang telah merasuki berbagai sendi kehidupan manusia menempatkan studi di bidang Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM) sebagai studi yang dianggap penting dan paling prospektif di masa depan.
Meski demikian, transformasi dan disrupsi yang terjadi di tengah masyarakat menunjukkan bahwa ilmu sosial tetap relevan untuk memecahkan persoalan yang muncul dari perubahan-perubahan yang ada.
“Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat, terutama teknologi informasi dan komunikasi, telah membawa permasalahan sosial di tengah masyarakat. Kami mengundang ilmuwan sosial dari berbagai latar belakang untuk bersama-sama berdiskusi serta merespons berbagai dinamika ini,” ucap Direktur Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT), Dr. phil. Hermin Indah Wahyuni, Selasa (4/9).
Hal ini ia sampaikan dalam pembukaan International Symposium on Social Science (SOSS) 2018 yang diselenggarakan PSSAT pada 4-5 September di Balai Senat dan Sekolah Pascasarjana UGM. Simposium ini menghadirkan pembicara serta peserta dari berbagai negara, di antaranya Indonesia, Malaysia, Thailand, serta Jepang.
Hermin memaparkan, tema “Social Science in the Era of Transformative and Disruptive: Its Relevance, Role, and Challenge” yang diangkat dalam simposium ini berangkat dari 2 isu utama, yaitu persoalan sosial yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi, serta pertanyaan-pertanyaan tentang peran serta relevansi ilmu sosial di tengah perkembangan tersebut.
Ia berharap, melalui simposium ini, kajian ilmu sosial khususnya di Indonesia dapat terus berkembang hingga dapat menjawab tantangan di setiap era.
“Kita akan bersama-sama berdiskusi untuk perbaikan dan perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Semoga forum ini produktif dan bisa membawa manfaat bagi komunitas akademik serta masyarakat luas,” tutur Hermin.
Sekretaris Jenderal Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Prof. Ainun Na’im, Ph.D., menuturkan bahwa selama ini jumlah program studi serta mahasiswa yang mengambil studi ilmu sosial di perguruan tinggi di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan program studi STEM sehingga pemerintah kemudian berusaha mendorong peningkatan kapasitas prodi sains dan mencetak lebih banyak lulusan di bidang ini.
Meski demikian, hal ini bukan dikarenakan pemerintah lebih menganggap penting bidang-bidang STEM, melainkan lebih sebagai upaya untuk menyeimbangkan proporsi masing-masing disiplin ilmu yang sama-sama penting bagi pembangunan bangsa.
“Isu yang kita hadapi sangat kompleks, tidak bisa diatasi oleh satu atau dua bidang ilmu, tapi harus secara komprehensif dan multidisiplin. Ilmu sosial tidak menjadi inferior karena hasil perkembangan teknologi tidak mungkin bisa bermanfaat tanpa kontribusi dari ilmu sosial,” terangnya.
Peran krusial dari ilmu sosial dalam hal ini juga disampaikan oleh Prof. Anthony Giddens melalui rekaman video yang ditayangkan pada simposium ini. Pakar dari London School of Economics and Political Science, Inggris ini memaparkan bahwa saat ini kita hidup di era yang sangat berbeda dari peradaban yang telah ada sebelumnya di dalam sejarah. Dia menyebut kondisi saat ini sebagai “high opportunity high risk society” yang telah mengubah sejarah dunia hari ini.
Ilmu sosial, menurutnya, sangat krusial untuk memahami dunia kontemporer, dan karenanya menjadi penting bagi negara mana pun di dunia.
“Tidak ada disiplin ilmu yang bisa memahaminya selain ilmu sosial sehingga tugas yang kita hadapi sangat besar. Tugas kita bukan hanya pada level makro tapi dalam berbagai tingkatan yang berbeda,” paparnya. (Humas UGM/Gloria; Foto: Firsto)