Publik mungkin masih familiar dengan sebuah peristiwa di akhir tahun 2016 ketika jutaan kaum muslim berbondong-bondong berkumpul di Jakarta untuk sebuah aksi yang disebut Aksi Bela Islam.
Banyak pihak melekatkan aksi ini dengan sentimen agama semata. Namun, seperti halnya narasi yang muncul dalam politik Indonesia saat ini, di dalam aksi ini terkandung unsur ekonomi yang turut menjadi penggerak utama.
“Dari beberapa pengamat ada dua hal yang melatarbelakangi aksi tersebut. Yang pertama adalah ketimpangan ekonomi dan sosial akibat perubahan drastis yang menyebabkan perasaan gamang di kalangan masyarakat, yang kedua adalah sentimen politik yang primordial,” ujar Dr. Inaya Rakhmani, Selasa (17/7) di FISIPOL UGM.
Hal ini ia sampaikan dalam seminar bertajuk “Moralitas Islam, Demokrasi, dan Pasar” yang diselenggarakan oleh Unit Penelitian, Publikasi, dan Pengabdian Masyarakat (P3M) FISIPOL UGM. Dalam kesempatan ini, ia bersama Prof. Vedi Hadiz dari University of Melbourne dan Andi Rachman memaparkan hasil penelitian yang mereka lakukan terkait topik tersebut.
Inaya menuturkan aksi yang dipicu oleh kasus yang melibatkan mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, itu menunjukkan adanya kaitan antara ungkapan solidaritas muslim dan kemarahan terhadap kondisi sosial ekonomi yang ada. Banyak orang, ujarnya, merasa dikecewakan oleh janji-janji modernitas dan pembangunan.
Dalam survei yang mereka lakukan terhadap 600 orang yang ikut serta dalam Aksi Bela Islam, mereka berusaha memahami kaitan antara pandangan mengenai ketidakadilan sosial, kepatuhan terhadap moralitas Islam, dan aksi politik.
Mereka menemukan bahwa peserta aksi berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan kelas sosial. Namun, angka-angka yang mereka peroleh memberikan gambaran besar akan kecemasan mengenai ketidakadilan sosial yang berkaitan sangat erat dengan kekhawatiran terhadap masa depan, bahkan di antara kalangan muslim muda terdidik.
“Sebagian besar responden mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada orang tua mereka, tetapi mereka memiliki kecemasan bahwa pendidikan yang mereka miliki tidak dapat memberikan jaminan bagi masa depan mereka,” imbuh pengajar di Universitas Indonesia ini.
Dalam kondisi yang demikian, konsep Ummah ia sebut menjadi sebuah gagasan yang mempersatukan individu atas dasar perasaan senasib sepenanggungan sebagai korban dari ketidakadilan pasar, yang kemudian menghasilkan sikap politik serupa di antara para peserta aksi.
Kesatuan ini, imbuh Vedi Hadiz, bukan sesuatu yang permanen karena komposisi peserta aksi sangat beragam dan kompleks, dan mereka hanya dipersatukan oleh konflik yang terjadi di suatu waktu.
“Dalam kenyataannya para umat ini terdiri dari orang-orang dengan kepentingan dan latar belakang yang berbeda, tapi mereka dipersatukan oleh konflik. Tensi atau kontroversi atau musuh bersama itu yang membuat mereka bersatu,” ucapnya
Meski demikian, moralitas tersebut berpotensi menyediakan sumber daya yang kaya untuk dieksploitasi oleh elite dalam kompetisi politik, khususnya menjelang Pemilu di tahun mendatang. Potensi ini, ujarnya, menjadi hal yang perlu diwaspadai. (Humas UGM/Gloria)