Belajarlah setinggi-tingginya, namun satu hal yang perlu diingat jika sudah pandai jangan sekali-kali menjadi “keminter” (sok pandai, merasa paling pandai) dan jangan “keblinger” (menyimpang atau sesat dalam hidup). Karena menjadi pintar, cerdas atau pandai adalah tujuan dari orang bersekolah atau kuliah.
“Ada tiga istilah Jawa yang perlu kita elaborasi disini, yaitu pinter, keminter dan keblinger“, ujar Prof. Dr. Muhadjir Darwin, MPA, di Auditorium Sekolah Pascasarjana UGM, Kamis (7/9) saat menyampaikan orasi ilmiah berjudul Etika Dalam Pendidikan dan Pembangunan yang Berkelanjutan.
Menurut Muhadjir, menjadi pintar, cerdas atau pandai merupakan tujuan dari orang bersekolah atau kuliah. Pinter berkenaan dengan kecerdasan, ketajaman logika dan luasnya ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki seeorang.
Sementara keminter menyangkut sikap dari orang pinter terhadap kepintarannya sendiri dan dalam berhubungan dengan lingkungannya. Orang pinter dikatakan keminter jika dirinya cenderung bersikap sombong dengan kepandaiannya dengan menganggap paling pandai dan orang lain bodoh.
“Terhadap orang lain dia cenderung “minteri”, meremehkan atau mungkin bahkan nyilakani (membuat celaka), tidak ngajeni (menghormati) dan tidak melakukan hal yang murakabi atau memberi manfaat bagi sesama,” katanya.
Karena itu, kata Muhadjir, jika karena pinter orang lalu keminter dan minteri dan tidak ngajeni serta murakabi maka disitu terdapat masalah etika. Terdapat nilai-nilai sosial penting dalam kehidupan bermasyarakat yang diabaikan.
“Nilai-nilai yang diabaikan adalah andap asor atau rendah hati. Ini sejalan dengan peribahasa Indonesia yang berbunyi seperti padi semakin berisi semakin merunduk,” tuturnya di hadapan mahasiswa baru Sekolah Pascasarjana UGM.
Nilai-nilai lain yang terkadang diabaikan adalah nilai murakabi atau bermanfaat. Gelar sarjana yang diraih seseorang haruslah murakabi (bermanfaat) bukan sebaliknya nyilakani liyan (merugikan orang lain).
Untuk itu, jika Sekolah Pascasarjana (SPs) UGM ingin menegakkan etika dalam sistem pendidikannya, SPs bukan sekadar mencetak sarjana pandai, namun sarjana yang mestinya berjiwa sosial, sensitif atau peduli pada masalah-masalah yang dihadapi orang lain atau masyarakat.
“Dengan kepandaiannya, seorang lulusan pascasarjana bisa menyinari lingkungannya, membuat yang lain ikut pandai dan maju dalam memajukan bangsa dan negara. Disinilah kata pembangunan berkelanjutan mendapatkan relevansinya,” paparnya. (Humas UGM/ Agung)