Wilayah Dataran Tinggi Dieng di Desa Dieng, Kabupaten Wonosobo serta Desa Dieng Kulon, Banjarnegara, Jawa Tengah kerap mengalami bencana frost atau embun beku. Kejadian ini hampir terjadi setiap tahun pada musim kemarau dan mengakibatkan kegagalan panen kentang dengan kerugian yang dapat mencapai puluhan juta rupiah setiap satu petak lahan. Kondisi ini mendorong lima mahasiswa UGM untuk melakukan penelitian pemetaan bencana frost dan arahan mitigasi melalui penentuan asuransi iklim bagi petani kentang yang merugi akibat frost.
“Frost yang terjadi hampir setiap tahun sulit diantisipasi oleh petani, hanya sebagian kecil yang sudah menerapkan upaya mitigasi. Walaupun demikian, fenomena frost hanya terdistribusi di wilayah tertentu dan sangat dipengaruhi kondisi topografi,” ujar mahasiswa Fakultas Geografi UGM, Aditya Pradana, Rabu (14/6).
Aditya melakukan penelitian ini bersama empat temannya, Aida Mardiana, Futuha Helen Sara, Sani Afifah, dan Fathimah Nur Lestari. Kelimanya mendapat bimbingan dari Dr. Emilya Nurjani, M.Si melalui Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian Eksakta (PKM-PE) UGM 2017.
Lebih lanjut Aditya menjelaskan, frost merupakan kejadian unik di tengah iklim tropis Indonesia yang ditandai dengan kemunculan embun yang membeku pada pagi hari dan mengakibatkan kerusakan komoditas pertanian kentang. Di kalangan masyarakat sendiri, kejadian ini dikenal dengan sebutan “embun upas”. Kelima mahasiswa ini melakukan pemetaan area frost melalui pendekatan geomorfologi disertai pemantauan kondisi cuaca dengan pemasangan termo-humidity logger.
“Hasil pemetaan menunjukkan bahwa bencana frost hanya terbentuk di lokasi dataran aluvial dan muncul saat kondisi udara mendingin di bawah titik beku 0 derajat celcius pada dini hari. Dataran lebih rawan frost karena pada malam hari permukaan tanahnya lebih cepat mendingin dan tidak ada pergerakan angin dibandingkan wilayah lereng,” papar Aditya.
Ia menambahkan, frost bersifat mematikan bagi komoditas utama petani, yakni kentang. Karena itu, mereka pun merekomendasikan beberapa perlakuan mitigasi, di antaranya perubahan ke komoditas non-kentang selama periode frost, modifikasi kejadian frost dengan blower angin, tungku perapian dan penyemprotan air di malam hari, menutup permukaan tanaman dengan mulsa atau jala, serta menerapkan asuransi iklim.
“Hasil ini kami sosialisasikan kepada petani dan pemerintah desa setempat agar mereka terhindar dari kerugian frost,” imbuh Aditya.
Hasil pengembangan dari pemetaan bahaya frost ini selanjutnya digunakan untuk penentuan indeks asuransi iklim. Aida Mardiana menjelaskan bahwa skema asuransi diterapkan untuk menghindari kerugian jika kejadian frost mengenai ladang kentang. Asuransi diterapkan dalam kelompok tani, dan petani yang tergabung dalam asuransi berkewajiban membayar premi tabungan serta mendapat ganti rugi hasil pertanian yang hilang jika sewaktu-waktu muncul kejadian frost.
“Harapan kami ke depan indeks asuransi iklim dapat diterapkan secara nyata dalam bentuk pengabdian masyarakat sehingga mendukung terciptanya pertanian berketahanan iklim di Dataran Tinggi Dieng. Secara luas konsep ini dapat diimplementasikan pada tipe bencana hidrometeorologis lain di lahan pertanian secara luas di Indonesia,” papar Aida. (Humas UGM/Gloria)