Sebulan invasi Rusia ke Ukraina belum memberikan tanda-tanda konflik akan segera berakhir dalam waktu dekat. Bahkan, memasuki bulan kedua, konflik ini diperkirakan akan berlarut larut dan segala upaya mendamaikan yang dilakukan oleh banyak pihak tentu akan selalu dihargai, termasuk niat baik untuk berunding baik dari Ukraina maupun Rusia.
Dr. Riza Noer Arfani, M.A, pengamat perdagangan ekonomi dunia dan politik internasional, mengatakan secara umum jika konflik berlarut-larut maka kondisi geopolitik dan geoekonomi secara global memiliki implikasi yang cukup serius. Termasuk dampaknya bagi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
“Dampak yang bisa dilihat dari konflik ini adalah sisi geopolitik dan sisi geoekonomi. Dari sisi geopolitik persaingan negara-negara barat dengan Rusia akan berlangsung dalam beberapa waktu kedepan. Selama ini kita melihat Rusia sebagai pewaris negara adikuasa Uni Sovyet. Mereka nampaknya menginginkan status itu tetap ada,” ujarnya, di Fisipol UGM, Kamis (24/3).
Menurutnya, konflik ini bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan karena baik Rusia maupun Nato terjebak dalam persaingan militer pola lama. Mereka masih membayangkan peran militer saat ini sama seperti saat terjadi perang dingin. Padahal, dalam konteks keamanan global sesungguhnya sudah berubah.
“Rusia melihat barat atau NATO sebagai ancaman dan melihat Ukraina sebagai buffer maka dilancarkan serangan. Konteks keamanan tradisional pun mulai bermunculan dan ini tentunya berimplikasi pada dampak sisi geoekonomi,” ucapnya.
Secara geoekonomi sejak perang dingin usai, sebut Riza, pola ancaman dan kerja sama antara negara-negara yang bersaing di saat perang dingin sudah berubah. Hal inilah yang sesungguhnya berimplikasi cukup serius, sebab berbicara geoekonomi bukan sekedar hanya membicarakan bagaimana negara-negara itu bersaing secara ekonomi komersial, tetapi bagaimana mereka juga bekerja sama.
Bahkan, persaingan antara Rusia dan negara-negara Uni Eropa dalam 20 tahun terakhir dinilai tidak secara langsung menghasilkan pada persaingan yang negatif, namun justru secara geoekonomi memunculkan potensi untuk bekerja sama. Konflik inilah yang kemudian cukup mengganggu pola kerja sama yang sudah terlihat antara Rusia dan negara-negara Eropa.
“Sejak ada perluasan anggota Uni Eropa kolaborasinya mulai nampak. Salah satu contoh soal suplai natural gas melalui jalur pipa. Beberapa negara kan sudah punya rencana jangka panjang untuk memanfaatkan perubahan geoekonomi ini dengan Rusia,” ungkapnya.
Riza menyebut Jerman, sebagai salah satu negara di Eropa cukup merasa cukup terganggu dengan situasi saat ini. Jerman, disebutnya, telah memiliki perjanjian jangka panjang dengan Rusia soal suplai natural gasnya itu (LNG), dan mereka sangat membutuhkan karena di negaranya saat ini tengah merancang kebijakan transisi energi ke sumber-sumber energi terbarukan.
Bahkan, Jerman sudah berkomitmen kuat untuk meninggalkan sumber-sumber energi tidak terbarukan, terutama batubara. Selain itu, mereka juga mulai membatasi jumlah pemakaian energi berbahan nuklir yang dinilainya memiliki potensi bahaya cukup besar.
“Konflik ini tentu mendisrupsi dan kita memiliki pertanyaan bagaimana terhadap solusi konflik Ukraina ini. Akankah kolaborasi ekonomi yang sudah berjalan ini akan dilanjutkan atau tidak, ini bergantung bagaimana upaya banyak pihak dalam menyelesaikan konflik ini,” paparnya.
Meski tidak secara langsung, kata Riza, konflik inipun berdampak pada Indonesia. Pada pergerakan komoditas, Indonesia bergantung suplai bahan makanan terutama gandum dari kedua negara yang tengah berkonflik.
Hal tersebut patut diwapadai terutama soal harga. Meski begitu diyakini bila para pelaku usaha di bidang ini secara jangka pendek dan menengah sudah menyiapkan langkah-langkah antisipatif dengan mencari sumber suplai bahan makanan dari negara-negara lain seperti Amerika, Australia dan lain-lain.
“Melihat kontribusi Ukraina dan Rusia yang cukup signifikan terhadap suplai bahan makanan berbasis gandum ini, kita patut waspada kalau konfliknya berkepanjangan. Secara permanen kita harus menengok di luar kedua negara tersebut,” tuturnya.
Dampak lain yang juga patut diwaspadai adalah dampak fluktuasi harga minyak atau sumber energi yang lain. Terlebih sejak 2007, Indonesia sebagai negara net importir atau impor BBM.
Hal lainnya yang perlu mendapat perhatian berkaitan dengan industri manufakturing dan industri pengolahan terutama yang berkaitan dua sektor yaitu sektor elektronik dan otomotif. Konflik ini dinilai berpengaruh pada suplai chain atau rantai pasokan.
Diakui konflik Ukraina dan Rusia memang tidak langsung berhubungan dengan suplai chain elektronik dan otomotif di Indonesia, atau bahkan dengan negara-negara yang mempunyai hubungan dagang seperti Malaysia,Thailand, Philipina atau Vietnam tetapi bila melihatnya secara lebih luas maka akan berdampak.
“Taruh saja jika konflik ini berkepanjangan dan China berpotensi terganggu suplai chainnya maka rantai pasokan di dua industri elektronik dan otomotif bisa terganggu dan memengaruhi rantai pasok ke Asia Tenggara termasuk Indonesia. Spare part yang basisnya elektronik dan otomotif, manufaktur banyak diolah di China dan kalau China terganggu akan berpengaruh ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia,” jelasnya.
Melihat konflik yang belum berakhir, Riza menyayangkan sikap Indonesia sebagai Presidensi G-20 tahun ini. Padahal, sebagai Presidensi G-20, Indonesia dipandang bisa memanfaatkan dan berperan dalam mencari solusi konflik ini.
Meski sebagian besar anggota G-20 mengkritisi serangan Rusia ke Ukraina, kata Riza, Indonesia sebagai Presidensi G-20 bisa mengajak Turki, China dan Rusia dalam meja perundingan untuk duduk bersama membahas progres perbaikan ekonomi jika konflik ini berlarut-larut.
“Memang tema G-20 tahun ini recover together, recover stronger untuk perbaikan ekonomi yang lebih sistematik dan kuat pasca pandemi, ini sekaligus saatnya menunjukkan secara nyata prinsip politik bebas aktif kita, apalagi dalam pembukaan UUD 1945 kita berkomitmen menjaga perdamaian dan ketertiban dunia,” paparnya.
Secara nyata, kata Riza, Jokowi sebagai Presidensi G-20 telah menulis di twitter soal hentikan peperangan sebagai bentuk pertanggung jawaban. Hal tersebut dinilai belum sepenuhnya cukup masih diperlukan sikap yang berkelanjutan dengan mempertemukan negara-negara yang berkonflik dalam meja perundingan.
Riza menandaskan perlu memanfaatkan shuttle diplomasi sekaligus memanfaatkan kedekatan Indonesia dengan China atau Rusia untuk mengupayakan gencatan senjata dan mendudukan keduanya di meja perundingan. Untuk situasi saat ini memang diperlukan adanya kredible broker atau perantara yang kredibel.
Pertanyaannya siapakah perantara kredibel itu, sebab bisa China tapi sayang China sudah dipersonifikasikan condong ke Rusia. Bisa pula Israel, namun juga dinilai memiliki kedekatan dengan Ukraina dan barat sehingga cukup sulit mewujudkan inisiataif tersebut untuk dijalankan.
Perundingan bisa saja datang dari negara-negara barat non-Amerika, seperti Perancis, Jerman atau Uni Eropa, atau bahkan negara-negara di luar pendukung rivalitas keduanya. Indonesia pun dipandang bisa menggunakan kesempatan ini.
“Jika perlu menggandeng India yang akan memegang Presidensi G-20 berikutnya setelah Indonesia atau Brazil the next presidensi G-20 setelah India, jadi diperlukan langkah-langkah luar biasa untuk diplomatik,” ujarnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Okezone News