YOGYAKARTA – Stroke masih menjadi masalah kesehatan utama di negara maju dan berkembang. Di Indonesia, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, Kementerian Kesehatan, melaporkan prevalensi pasien stroke di Indonesia sebanyak 7 orang dari 1000 penduduk. Kematian dari semua pasien stroke umumnya disebabkan oleh perdarahan intraserebral spontan. Setengah dari pasien hidup akibat pendarahan intraserebral umumnya mengalami cacat permanen. Meskipun sudah banyak dilakukan operasi penanganan pendarahan intraserebral spontan, tetapi prognosis yang didapatkan masih kurang baik. Saat ini tindakan neuroendoskopi dan kraniotomi digunakan untuk mengatasi pendarahan intraserebral spontan.
Penelitian yang dilakukan Kepala SMF Bedah Saraf RSUD A. Wahab Sjahranie, Samarinda, Kalimantan Timur, dr. Arie Ibrahim, SpBS, menyebutkan bahwa tindakan neuroendoskopi pada pasien yang mengalami pendarahan intraserebral lebih efektif ketimbang tindakan kraniotomi. Penelitian dilakukan pada 43 pasien yang mengalami pendarahan intraserebral spontan dimana 25 orang telah dilakukan tindakan neuroendoskopi dan 18 orang dilakukan kraniotomi.
Hal menunjukkan, angka pasien hidup pada tindakan neuroendoskopi sebanyak 18 pasien atau 75 persen dibandingkan dengan tindakan dengan Karaniotomi yang hanya 6 pasein atau 25% yang hidup. “Angka kematian pada tiindakana kraniotomi sebanyak 12 pasien dibandingakan dengan 7 pasien pada tindakan neuroendoskopi,” kata Arie dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Kedokteran UGM, Selasa (1/9).
Tindakan neuroendoskopi dilakukan dengan cara membuat burr hole selebar 2-3 cm di sisi lesi yang landmarknya berdasarkan analisa topografi CT scan. Durameter disayat dengan pisau dan pendarahan yang timbul dihentikan dengan kauterisasi. Parenkim otak lalu ditembus selongsong transpran dengan mandrin ujung tumpul sampai mencapai daerah hematom. Selongsong transparan dibuat sendiri oleh Arie dengan modifikasi alat yang terbuat dari bahan silastic, bahan campuran dari silicon dan plastic yang inert. Sementara kraniotomi seperti diketahui adalah operasi pengeluaran pendarahan intraserebral dengan membuka tulang kranium dan membuka duramter serta menembus parenkim otak.
Menurut Arie, tindakan evakuasi intraserebral hematom dengan kraniotomi mempunyai risiko kematian 3 kali lebih besar dibandingkan dengan tindakan operasi Neuroendoskopi.
Menurut Arie, dari semua pasein yang diteliti didapat pasien laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan ratio 58,1:41,9. Diketahui laki-laki lebih banyak menderita atherosklerosis, trauma dan x linked penyakit metabolik. “Dari pasien tersebut sekitar 97,62% adalah pasien stroke dengan hipertensi,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)