Dalam rangkaian kegiatan Dies Natalis ke-65 UGM, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) dan UGM Press menyelenggarakan UGM Round Table Series dengan tema ”Pelestarian Kota Pusaka: Tantangan Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia”, Selasa (18/11) di Eastparc Hotel. UGM Round Table Series merupakan forum diskusi panel para ahli yang membahas suatu tema tertentu dengan tujuan memberikan urun rembug solusi terhadap permasalahan sehingga dapat dimanfaatkan para perumus kebijakan, pengambil keputusan, dan pemangku kepentingan lainnya.
Ketua Panitia Dies UGM yang juga Direktur UGM Press Prof. Dr Harno Dwi Pranowo mengatakan bahwa predikat baru sebagai Kota Batik Dunia memberikan tantangan antara lain bagaimana menyatukan tekad masyarakat, pemerintah, akademisi, dan industri untuk mendukung predikat baru tersebut.
“Mengenalkan tentang teknik dan budaya batik yang sesungguhnya dan menjadikan batik hidup dan menghidupi masyarakat menjadi tantangan bagi pelestarian batik di Yogyakarta,” kata Prof. Harno.
Narasumber yang hadir dalam acara ini adalah Ketua Paguyuban Pecinta Batik Indonesia “Sekarjagad”, Dra. Ir. Larasati Suliantoro Sulaiman; pengusaha dan anggota Dewan Kebudayaan DIY, Robby Kusumaharta; Staf Ahli Dewan Kerajinan Nasional, Prieyo Pratomo; dan Arsitek PT. Wastu Adi Olahrupa, Ir. Endi Subijono. Acara ini dipandu oleh Dr. Sita T Adhisakti, dosen Jurusan Arsitek Fakultas Teknik UGM yang juga aktif dalam pelestarian kota pusaka.
Pada kesempatan tersebut Aki Adhisakti yang menjadi kurator untuk pameran batik Yogyakarta di Dongyang menyampaikan perjalanan delegasi Yogyakarta ke peringatan ulang tahun ke-50, Dewan Kerajinan Dunia, di Dongyang.
“Sebagai karya tradisional Indonesia, batik dinilai menjadi bagian yang tidakterpisahkan dengan Yogyakarta. Apalagi, selain nilai seni dan nilai sejarahnya yang tinggi, batik juga sudah memberikan keuntungan ekonomi yang cukup besar bagi masyarakat Yogya,” kata Aki Adhisakti.
Sementara itu Ketua Paguyuban Pecinta Batik Indonesia “Sekarjagad”, Dra. Ir. Larasati Suliantoro Sulaiman banyak menyoroti tentang kesiapan masyarakat serta pemangku kepentingan untuk bersinergi dalam mendukung program-program yang menjaga agar Yogyakarta menjadi poros dan hub untuk pengembangan dan sekaligus pusat bisnis batik dunia.
“Perlu disiapkan satu pasar atau tempat khusus, misalnya pasar Ngasem, yang menjadi tujuan wisata berbelanja batik di Yogyakarta sehingga menjadi ikon wisata yang mendunia,” kata Suliantoro.
Seperti diketahui batik Indonesia, yang menyangkut teknik, teknologi, pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi sejak 2 Oktober 2009. Lima tahun berikutnya, 8 Oktober 2014, Yogyakarta dinyatakan sebagai Kota Batik Dunia oleh World Crafts Council (Dewan Kerajinan dunia) di Dongyang, Cina. (Humas UGM/Satria)