YOGYAKARTA – Isu kedaulatan politik negara maritim kembali menguat setelah menjadi bahan perdebatan dua kandidat capres. Meski begitu isu tetang kekuatan negara maritim sudah ada sejak lama, hanya saja selalu menjadi gagasan, tidak pernah diwujudkan dalam berbagai kebijakan baik oleh pemimpin di tingkat pusat dan daerah. Padahal kekuatan maritim sangat dibutuhkan dalam memenangkan persaingan global dimana setiap negara yang memiliki laut justru memperbanyak pembangunan pelabuhan dan transportasi laut untuk memperlancar proses perdagangan global.
“Isu pentingnya negara maritim sudah sejak lama. Tetapi yang jadi persoalan besar dari dulu, sering sebagai wacana, para pemimpin kita tidak mewujudkan gagasan itu sebagai kebijakan,” kata Dekan Fisipol UGM, Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si., saat membuka seminar “Politik Negara Maritim: Memperkuat Kedaulatan Indonesia dalam Konstelasi Global” yang berlangsung di ruang seminar Fisipol UGM, kemarin. Hadir sebagai pembicara diantaranya pengamat Hubngan Internasional UGM, Dr. Poppy Sulistyaning Winanti, MPP, M.Sc., Pengajar Teknik Geodesi UGM, Dr. I Made Andi Arsana, S.T., ME., dan Ekonom Dr. Faisal Basri.
Menurut Erwan, seharusnya pemimpin RI belajar dari sejarah. Sejak dahulu Indonesia dikenal sebagai negara maritim lewat kejayaan dua kerajaan besar, Sriwijaya dan Majapahit. Dua kerajaan ini menurutnya mengandalkan kekuatan maritim karena memiliki armada laut yang kuat dan kemampuan dalam berdagang. “Tapi mereka juga memiliki sektor pertanian yang bagus serta ketahanan pangan yang hebat,” ujarnya.
Adapun posisi geostrategis Indonesia sebagai negara kepulauan menurut Poppy semestinya bisa menjadi keuntungan yang lebih besar bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Namun posisi gesostrategis itu belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh negara justru sebaliknya terjadi ketimpangan ekonomi antarwilayah terkait infrastruktur. “Kita memiliki posisi geostrategis dan kekayaan sumber daya alam tapi lemah dalam kapasitas untuk mengelola,” katanya.
Ketimpangan infrastruktur ini juga diamini oleh Faisal Basri yang menyatakan pemerintah selama ini enggan untuk membangun kekuatan maritim lewat pelabuhan dan armada transportasi laut yang menjadi penyebab munculnya ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antarwilayah di Indonesia.
Dia mencontohkan, harga barang di Pulau Jawa dibandingkan dengan di Aceh dan Papua sangat berbeda dan jauh lebih mahal. Padahal di Amerika dan Inggris, harga barang di setiap wilayah tetap diberlakukan sama. Disparitas harga yang cukup besar itu terjadi karena semua produk dagang di Indonesia dominan diangkut lewat transportasi darat. “Itulah harga jeruk lokal kita lebih mahal ketimbang jeruk dari China,” ujarnya.
Menurut Faisal Basri, negara-negara besar di seluruh dunia saat ini menggandalkan kekuatan tranportasi laut. Pasalnya sekitar 90 persen perdagangan dunia diangkut sarana transportasi laut, melibatkan 60 ribu kapal dan 1 juta anak buah kapal. Namun yang disesalkan oleh Faisal Basri adalah munculnya peraturan presiden RI yang melarang pembangunan pelabuhan mengunakan dana dari APBN. Dampaknya, sangat sedikit pelabuhan di daerah yang dibangun dan dibenahi oleh pemerintah. Dia beharap pemimpin di masa mendatang harus lebih banyak memperhatikan pelabuhan dan transportasi laut. “Apakah kita tetap lanjutkan kegilaan ini?” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)