Banyaknya gunung api tersebar menjadikan Indonesia rawan terhadap bencana geologi. Hingga kini tercatat 127 gunung api aktif di Indonesia dengan status siaga dan sebagian lain waspada dan normal.
Gunung Merapi berada di peringkat kelima gunung api terbesar di Indonesia setelah Toba, Tambora, Krakatau, dan Kelud. Erupsi Gunung Toba dan Tambora dalam beberapa tahun lalu sempat berdampak pada dunia.
Menurut Dr. Agus Budi Santoso, peneliti BPPTKG Yogyakarta, gempa besar di Aceh tahun 2006 telah memicu perubahan karakter gunung api di Indonesia. Bahkan Gunung Sinabung yang telah tidur selama 400 tahun, aktif kembali hingga erupsi di tahun 2013/2014.
“Sesungguhnya saya tidak dalam posisi membenarkan dan menyalahkan hipotesa gempa Aceh memicu perubahan karakter gunung api. Saya hanya ingin menunjukkan beberapa letusan setelah kejadian tsunami, erupsi gunung Merapi tahun 2010, memang luar biasa. Erupsi ini menjadi terbesar sepanjang abad ini, dengan jarak awan panas 15 km, material sampai 150 juta meter kubik, korban meninggal 347 jiwa, dan kerugian yang sangat luar biasa,” ujarnya di Pusat Studi Bencana UGM, Rabu (21/5) dalam seminar “Manajemen Bencana Gunungapi”.
Pasca erupsi tahun 2010, kata Agus Budi Santoso, terjadi perubahan morfologi di Puncak Merapi. Bila membandingkan dengan citra satelit tahun 2008 dan 2012 maka terbentuk kawah yang sangat lebar 300-400 meter.
“Sangat besar, sebelumnya kawah kita asumsikan merupakan sisa-sisa aktivitas erupsi tahun 1961. Namun akibat letusan tahun 2010, maka kawah utama berubah dan aktivitas Merapi didominai oleh letusan dan hembusan kecil,” jelasnya.
Dr. Estuningtyas Wulan Mei, peneliti Pusat Studi Bencana UGM mengungkapkan untuk mengantisipasi bahaya bencana gunung api maka diperlukan partisipasi pengurangan risiko bencana melalui pemetaan partisipatif. Pemetaaan partisipatif merupakan suatu alat untuk membangun masyarakat dalam hal berkomunikasi dengan berbagai pihak.
“Diharapkan dengan pemetaan partisipatif dapat membangun masyarakat. Kenapa harus membangun masyrakat partisipatif dan kenapa juga dibutuhkan alat komunikatif, karena tanpa komunikasi akan mengalami kesulitan mulai dari mengidentifikasi ekonomi masyarakat sampai menumbuhkan solusi permasalahan di masyarakat,” kata Estu.
Bagi Estu, dalam penangan risiko bencana terdapat tiga pihak yang terkait penyampaian berbagai informasi. Adapun pihak-pihak terkait itu ialah pemerintah, masyarakat, dan ilmuwan atau akademisi. (Humas UGM/Agung)