YOGYAKARTA – Alat deteksi longsor buatan peneliti UGM tidak hanya dimanfaatkan oleh masyarakat yang berada di daerah rawan risiko bahaya longsor seperti di Karanganyar, Kebumen dan Situbondo. Alat deteksi longsor ini juga dimanfaatkan oleh industri pertambangan di luar negeri seperti di China dan Myanmar. Di dalam negeri, salah satu perusahaan yang sudah mengunakannya adalah PT. Pertamina Geothermal Energy (PGE).
Pemasangan alat monitoring dan sistem peringatan dini longsor ditempatkan di 8 lokasi area proyek eksplorasi pemanfaatan sumber panas bumi meliputi di Karaha Bodas (Jabar), Kamojang (Jabar), Ulubelu (Lampung), Hululais (Bengkulu), Sungai Penuh (Jambi), Sibayak (Sumut) dan Lahendong (Sulut).
Koordinator Pelaksana dan Pengendali Proyek Geothermal, PT. Pertamina Geothermal Energy (PGE), Ir. Tavip Azimuddin, mengatakan PGE sangat membutuhkan alat deteksi longsor buatan UGM tersebut. Pasalnya daerah lokasi sumber panas bumi berada di daerah terisolir di daerah pegunungan yang sangat rawan terhadap bahaya longsor. “PGE sangat membutuhkan alat ini untuk melindungi pekerja yang berada di lapangan,” kata Tavip saat dihubungi Jumat (28/2).
Tavip menyebutkan, alasan PGE menggunakan alat monitoring dan sistem peringatan dini longsor setelah sebelumnya di lokasi PGE Sungai Penuh dan Karaha telah terkena bahaya longsor dan menelan korban para pekerja saat melakukan eksplorasi pengeboran di lapangan. “Dengan alat tersebut yang kita harapkan tidak ada lagi kejadian seperti itu terulang kembali,” ungkapnya.
Selain itu, pemanfaatan alat monitoring ini menurut Tavip karena PGE sebagai salah satu industri strategis nasional dalam pengolahan dan pemanfaatan energi panas bumi di setiap kegiatan pembangunannya diharuskan melakukan upaya mitigasi bencana. Bahkan aturan tersebut sudah ditetapkan pada peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2008 agar kegiatan pembangunan yang memiliki risiko tinggi menimbulkan bencana diwajibkan melakukan analisis risiko bencana. “Kebetulan lokasi kita berada di daerah pegunungan dengan tingkat curah hujan tinggi tentu potensi yang paling besar terkena bencana longsor dan banjir bandang. Itu yang harus kita mitigasi sebelumnya,” ujarnya.
Salah satu perancang alat deteksi longsor, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., menjelaskan alat monitor dan deteksi bencana longsor ini terdiri dari ektensometer, tilmeter, curah hujan, ultrasonik, dan IP kamera. Diakui Rita, alat buatannya ini memang dimaksudkan untuk mendeteksi bahaya longsor terutama di daerah perbukitan dan pegunungan yang menjadi lokasi sumber panas bumi di Indonesia. Sebab, letak sumber panas bumi berada di kawasan pegunungan umumnya dengan topografi lereng yang cukup terjal, struktur geologi yang komplek, dan adanya alterasi yang menghasilkan tanah yang cukup tebal. “Kondisi ini mengakibatkan daerah panas bumi rentan terhadap kejadian tanah longsor,” ujarnya.
Sebelum pemasangan alat di lokasi, kata Rita, sebelumnya tim peneliti UGM telah melakukan pemetaaan potensi bahaya tanah longsor di daerah lokasi panas bumi untuk mengetahui lokasi yang rentan dan disertai tindakan mitigasi untuk menghidari terjadinya tanah longsor. Hal itu dilakukan untuk melindungi pekerja maupun infrastruktur vital perusahaan panas bumi. “Kerugian baik korban jiwa maupun aset perusahaan dapat dihindari,” kata Dosen Geologi UGM ini. (Humas UGM/Gusti Grehenson)