Siapa yang tak suka anggrek? Hampir setiap orang terpesona kala melihat keindahan bunganya. Namun, menunggu tanaman ini berbunga juga membutuhkan kesabaran. Setidaknya, perlu 2-3 tahun menanti ia berkuncup dan kemudian mekar. Jika kurang dirawat, bisa-bisa ia layu sebelum berkembang. Di sinilah tantangan bagi orang-orang yang gemar mengoleksi tanaman satu ini. Bagi yang tak sabar, mungkin harus berpikir ulang untuk menanamnya karena anggrek bukan tanaman yang dapat dinikmati dengan cepat layaknya tanaman musiman. Akan tetapi bagi mereka yang hobi, menikmati proses anggrek saat tumbuh lalu berbunga adalah kepuasaan tersendiri.
Namun patut disayangkan, di negeri ini tidak banyak orang yang tertarik untuk menjadi peneliti anggrek. Sejak era almarhum Prof. Moeso, bapak anggrek Indonesia, hingga saat ini jumlah peneliti anggrek dapat dihitung dengan jari. Salah satunya adalah Dr. Endang Semiarti, M.S., M.Sc., yang juga salah satu anak didik Prof. Moeso. Meneruskan perjuangan seniornya, Endang tidak sekadar meneliti, ia bahkan berhasil menyelamatkan sembilan jenis anggrek yang hampir punah di Indonesia. Tiga di antaranya ialah anggrek hitam Coelogyn pandurata dari Kalimantan, Phalaenopsis amabilis dari Gunungkidul, dan Vanda tricolor dari lereng Gunung Merapi. Yang terakhir ini dapat dikatakan sebagai yang paling fenomenal. Jenis anggrek langka yang tahan hawa panas ini nyaris punah oleh erupsi Merapi pada 2010 lalu. Di laboratorium, anggrek ini dikonservasi dan diperbanyak dengan cara kultur jaringan dan bioteknologi rekayasa genetika.
Pesan Prof. Moeso
Ketertarikan Endang pada anggrek tidak datang tiba-tiba. Masa pertama kuliah di Fakultas Biologi pada awal tahun 1980-an, ia justru menyukai tentang genetika hewan. Namun, saat diajarkan tentang kultur jaringan oleh Prof. Moeso, Endang menjadi tertarik. Bukan tentang materi yang diajarkan, melainkan cara Prof. Moeso mengajar, yang menurut Endang selalu memberikan motivasi kepada peserta didik. “Saya tertarik, beliau itu lucu. Kalau mengoreksi ujian, (jawaban) tidak harus sama yang beliau katakan (saat mengajar), tapi sesuai apa yang beliau maksudkan, maka sudah dianggap benar. Model dosen seperti itu sangat bagus,†kenangnya.
Penampilan dan pembawaan Prof. Moeso yang sederhana, tetapi selalu memikirkan sesuatu yang besar membuat Endang tertarik untuk menjadi asisten dosennya itu. “Beliau itu hampir mirip Adam Malik, pemikirannya sangat otodidak. Beliau hanya insinyur, dekan tiga kali, dapat profesor berkat penelitiannya (anggrek) itu,†ujar Endang yang akhirnya menjadi asisten sejak tahun 1988 hingga saat meninggalnya Prof. Moeso pada 2003. “Sebelum meninggal, beliau berpesan kepada saya, pokoknya anggreknya jangan sampai ditinggal,†tambahnya lagi.
Perpendek Umur Masa Tumbuh Anggrek
Endang merasa sangat beruntung memperoleh kesempatan untuk menempuh pendidikan master dan doktor di Nagoya University. Meskipun di sana tidak meneliti anggrek, ia dapat banyak belajar tentang kultur jaringan dan rekayasa genetika. Hal itu membuatnya semakin tahu tentang cara memperbanyak tanaman dalam waktu singkat. “Di Jepang, saya banyak belajar bagaimana gen itu berperan karena tanaman herbal Jepang yang saya teliti 6 minggu sudah bisa dipanen. Ketika pulang, saya meneliti anggrek,†katanya.
Sepulangnya ke tanah air pada 2001, Endang menjumpai laboratorium milik sang guru, Prof. Moeso, dalam keadaan terkunci dan digembok. Saat membuka gembok dan kemudian masuk, Endang merasa trenyuh. Tak ubahnya gudang, lemari kaca yang biasa dimanfaatkan untuk menyimpan preparat tampak berdebu dan dipenuhi sarang laba-laba. Ternyata, tidak ada yang memanfaatkan laboratorium itu sepeninggal Prof. Moeso. Ia teringat kembali sosok sang profesor, yang dengan keterbatasan fasilitas laboratorium tetap gigih untuk meneliti anggrek. Endang membandingkan saat belajar di Jepang. Teknologi yang serba modern dan canggih mempermudah dirinya untuk melakukan penelitian. Lantas, ia pun berkomitmen untuk meneruskan pekerjaan yang ditinggal sang guru. “Awalnya, tidak ada teknologi kultur jaringan di lab ini. Kini sudah ada. Itu saya beli dari sisa dana penelitian,†katanya.
Pengalaman dalam menerapkan teknologi model molekuler genetik, diterapkan Endang pada tanaman anggrek. Tujuannya hanya satu, memperpendek umur anggrek untuk segera tumbuh dan berbunga sebab lamanya masa tumbuh menjadikan orang enggan untuk meneliti atau mengoleksi tanaman ini. “Saya pelajari, ketahuan 25 ribu gen. Penelitian saya mengubah genetik anggrek yang tumbuhnya lama menjadi cepat dengan cara mengambil gen dari tanaman lain yang mempunyai kemiripan DNA, lalu dimasukkan ke angrek,†imbuhnya.
Menurut Endang, yang dilakukannya semata-mata untuk meningkatkan mutu percepatan tumbuhnya tunas anakan dan memperpendek masa vegetasi anggrek. Sudah dipraktikkan di tiga jenis anggrek, anggrek hitam, anggrek bulan, dan anggrek merapi. “Ketiganya sudah berhasil, bisa menumbuhkan lebih cepat separo dari biasanya. Bila anggrek tumbuh dan berbunga sekitar dua tahun, maka bisa segera satu tahun saja,†katanya.
Konservasi Anggrek
Setelah hampir 20 tahun meneliti, Endang semakin banyak tahu tentang anggrek. Misalnya, mengapa anggrek tumbuh lama? Menurutnya, anggrek berbeda dengan tanaman lain, minimnya suplai makanan menyebabkan tanaman ini lebih sukar dan lama tumbuh. Oleh karena itu, ia membuat budidaya anggrek di dalam botol. Dengan kemasan dalam botol, Endang berharap masyarakat semakin tertarik untuk mengoleksi anggrek. Tiap tahun, ia juga mengundang masyarakat untuk belajar menanam, merawat, dan mengawinkan anggrek dalam botol.
Bagi mereka yang ingin memiliki anggrek dalam botol, Endang menjual dengan harga Rp20.000,00-Rp100.000,00 sesuai dengan jenis yang dipilih. Dengan cara itu, ia berharap semakin banyak orang yang suka dengan anggrek.
Lebih dari itu, Endang juga mengampanyekan anggrek ke berbagai daerah. Ia melibatkan banyak peneliti untuk mengonservasi anggrek yang ada di daerah masing-masing. Menurut data, Indonesia memiliki 5.000 jenis anggrek dari 30.000 jenis yang ada di dunia. Dari 5.000 jenis ini, baru 2.000 jenis yang sudah diidentifikasi. â€Tetapi dengan adanya illegal loging, kebakaran hutan, hingga kini tinggal 1.500-an. Itu pun belum semua diidentifikasi,†katanya.
Penyelamatan anggrek yang dilakukan Endang dengan cara konservasi ex-situ, yakni anggrek dibawa ke luar habitatnya (dibawa ke laboratorium) untuk dikembangkan melalui kultur jaringan agar dapat dilakukan perbanyakan secara massal. Tentang jumlah yang sudah dikonservasi, Endang menyebutkan, â€Sekitar 9 jenis, rata-rata anggrek yang hampir punah.â€
Konservasi anggrek juga dilakukan ketika mahasiswa melakukan ekspedisi bersama Kopasus untuk mengeksplorasi kekayaan alam di hutan-hutan Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Endang untuk meminta mahasiswa mengumpulkan beragam jenis anggrek nusantara untuk dikonservasi di laboratorium. Suatu saat apabila pembalakan hutan kian meluas, anggrek terancam punah. “Jangan sampai anak cucu tidak mengenal anggrek daerah masing-masing. Kita benchmark ke beberapa tempat di Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan taman nasional. Namun sayang, tidak ada datanya semua,†ujar Endang.
Manfaat Anggrek
Anggrek sesungguhnya tidak hanya dinikmati keindahan bunganya. Anggrek juga dapat dimanfaatkan untuk aromaterapi, obat-obatan, dan bahan kosmetik. Di China, anggrek telah dijadikan bahan baku pembuatan lipstick. Hanya saja, pemanfaatan anggrek di tanah air belum ke arah itu, apalagi masih ada anggapan anggrek sebagai tanaman mahal. Namun, dengan teknologi perbanyakan anggrek secara massal, hal itu tidak akan menjadi persoalan lagi. “Inilah sebenarnya tantangan peneliti anggrek di Indonesia,†kata Endang. (Gusti Grehenson)