Meskipun masih sekitar 125 ribu orang hilang yang belum ditemukan, dan 600 ribuan pengungsi yang belum tahu nasib masa depannya, rupa-rupanya masa/fase tanggap darurat (emergency response) hampir pula usai setelah ditemukan 115 ribuan mayat dan hampir semua telah dikubur. Kini Aceh memasuki tahapan recovery yang meliputi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Tahapan ini merupakan salah satu siklus berkelanjutan dalam suatu kegiatan manajemen bencana alam. Hal tersebut dikemukakan oleh DR. Sudibyakto, Ketua Divisi Manajemen Bencana Posko UGM Peduli Aceh (26/01/2005).
Menurutnya, membangun kembali Aceh pasca bencana gempa bumi dan tsunami diperlukan suatu “grand design” yang disusun secara komprehensif dan aplikatif serta didukung penuh oleh masyarakat khususnya masyarakat Aceh. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi dalam manajemen bencana memerlukan waktu yang jauh lebih panjang, karena masalahnya jauh lebih pelik, rumit dan memerlukan dana yang sangat besar, ada yang memperkirakan hampir setengah RAPBN kita.
“Pepatah “Experience is the best teacher” dapat dijadikan modal utama dan semangat untuk membangun Aceh lebih baik dari masa lalu. Berbagai media massa kini sedang ramai membicarakan perlu tidaknya suatu lembaga khusus yang akan menangani pembangunan Aceh yaitu Badan Otorita Khusus Aceh. Rencana pembentukan Badan Otorita tersebut juga mendapat perhatian dari berbagai ulama/tokoh agama, cendikiawan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang meminta agar pemerintah dalam membangun kembali NAD harus melibatkan rakyat Aceh. Secara garis besar “appeal” rakyat Aceh meliputi aspek-aspek yang tidak boleh ditinggalkan adalah nafas/rona keislaman, pendidikan, dan kebudayaan dan bahkan sejarah Aceh,” ungkap DR. Sudibyakto.
Ia mengemukakan, sebagai bahan masukan dalam penyusunan program Aceh Bangkit versi UGM maupun usulan program lainnya yang dikelola oleh BAPPENAS, perlu dipikirkan dijadikannya sebagian kawasan yang terkena gempabumi dan tsunami di NAD dijadikan sebagai Museum Tsunami Dunia (The World Tsunami Museum) mendampingi “Pasific Tsunami Museum” yang dibangun tahun 1994 setelah di kawasan Samudra Pasifik terjadi tsunami yang dahsyat.
Kata Dosen Fakultas Geografi UGM, tsunami adalah suatu fenomena alami yang sifatnya sangat merusak dan telah terjadi tidak hanya di Aceh dan Samudra Hindia, tetapi juga di Samudra Pasifik yang menyerang kepulauan Jepang maupun kepulauan Hawaii yang diteliti semenjak tahun 1964. “Salah satu pulau kecil yang terletak di pantai timur kepulauan Hawai, berpenduduk 49.000 jiwa dan berjarak 200 mil selatan Honolulu, secara geografis berpotensi terancam tsunami karena memiliki teluk yang berbentuk lonceng, sehingga begitu gelombang tsunami tiba di pantai teluk tersebut, tinggi gelombang (run-up) akan meningkat,” lanjut DR. Sudibyakto.
“Semenjak itu dibangunlah “Pasific Tsunami Warning Center”, meskipun embrionya telah ada sejak tahun 1948. Selama ini telah dioperasikan sistem peringatan dini sebanyak 20 kali, 5 diantaranya sangat berhasil sehingga dapat meminimalkan jumlah korban,” ujarnya.
Hasil survei cepat terintegrasi terhadap gempabumi dan tsunami oleh Tim Manajemen Bencana UGM (14-20 Januari 2005) telah teridentifikasi obyek-obyek penting dan langka akibat tsunami terutama di Banda Aceh, yang perlu dipertahankan keberadaannya untuk mengisi Museum Tsunami Aceh. Obyek-obyek itu antara lain: (i) Terdamparnya kapal laut hingga di depan Hotel Medan di tengah kota Banda Aceh, pada jarak 3,5 km dari pantai terdekat dan kapal-kapal kecil yang “parkir” di atas rumah tingkat; (ii) Terdapatnya masjid-masjid yang tetap berdiri tegak, meskipun diterjang gelombag tsunami. Ini dapat dijadikan bukti sebagai salah satu tanda kebesaran Tuhan YME, dan temapt bercermin diri bahwa manusia dihadapan Tuhan itu sangatlah kecil tak berdaya. Jadi dapat meningkatkan ketakwaan dan keimanan seseorang, terutama bagi orang muslim; (iii) Keberadaan vegetasi pantai seperti mangrove dan pohon kelapa yang tetap berdiri tegak walau dihantam tsunami; (iv) Terdamparnya kapal diesel sebarat 280 ton milik PLN di tengah kota Banda Aceh pada jarak 4 km dari pantai Uleu-Lhee; (v) Beberapa rumah tahan gempa dan tsunami masih tetap kokoh berdiri, walaupun sekelilingnya telah rata dengan tanah; (vi) Banyak poster dengan foto anak-anak atau anggota keluarga yang hilang yang ditempel pada tempat-tempat strategis; (vii) Ditemukannya film video dan foto-foto yang mengabdikan perjalanan gelombang tsunami menyerang wilayah kota Banda Aceh; (viii) Informasi adanya kearifan lokal masyarakat Pulau Simueleu yang mampu menghindar dari ancaman tsunami dengan lari menuju ke tempat yang lebih tinggi (perbukitan), sehingga jumlah korban sangat kecil; (ix) Kehancuran pelabuhan minyak milik Pertamina di dekat pelabuhan Malahayati dapat mengingatkan tingkat bahaya pemukiman yang dibangun di dekat pelabuhan dari ancaman pukulan barang-barang seperti kayu gelondongan, drum minyak/oli, dan sebagainya; (x) Hanyut dan terseretnya jembatan di beberapa ruas jalan di kota Banda Aceh. Mengingatkan betapa kuatnya daya pukul tsunami itu.
“Dengan demikian, sebaiknya dalam merehabilitasi dan merekonstruksi Aceh, obyek-obyek yang langka dan penting nilai ilmiahnya jangan sampai dirusak (dipindahkan) keberadaannya di lapangan. Museum Tsunami Aceh barangkali dapat mengungguli Museum Tsunami yang telah ada di Pulau Hilo, Hawai di kawasan Pasifik. Tentunya program ziarah bagi para korban tsunami sebagai syuhada dan wisata ilmiah khususnya wisata minat khusus di daerah rawan gempabumu dan tsunami dapat dipadukan sebagai paket wisata Aceh masa depan,” tegas Sudibyakto.
(Humas UGM)