GATS (General Agreement on Trade and Service) adalah kesepakatan multilateral dan berkekuatan hukum yang mengatur tentang perdagangan jaa internasional. Perjanjian ini mengatur 12 sektor jasa termasuk jasa pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Ada empat metode penyediaan pendidikan oleh asing yaitu: (i) cross border supply, (ii) consumption abroad, (iii) commercial presence, (iv) presence of natural person. Metode nomor (iii) inilah yang memerlukan antisipasi secara khusus yang dibahas dalam pertemuan Kelompok Kerja Aspek Hukum Perguruan Tinggi BHMN pada tanggal 23 Mei 2005 di Kampus Universitas Gadjah Mada. Pertemuan bertujuan untuk membahas konsekuensi dan alternatif antisipasi terhadap rencana rencana ratifikasinya GATS pada tahun ini.
Pertemuan dihadiri oleh Rektor UGM Prof Dr.Sofian Effendi, Rektor IPB Prof. Dr. A. Anshori Mattjik, serta perwakilan dari 5 PT BHMN yaitu UI (Dr. Darminto), ITB (Prof.Dr. Asis Djajaningrat, Dr. Rizal Tamin, IPB (Dr. Adil Ahza, Dr. Heri Suhardiyanto, Dr. Kudang Boro Seminar) UPI (Prof. Hamid Hasan, Prof. Dr. Suwarna) dan tuan rumah UGM (Prof. Dr. Ir. Sudjarwadi, M.Eng; Prof.Dr. Retno Sunarminingsih, M.Sc., Apt; Dr. Marsudi Triatmodjo; Dr. Singgih Hawiwibowo; Sularto, SH, CN., M.Hum; dan Daniar Rahmawati, SH., LLM.
Menurutnya, sejak tahun 1980-an perdagangan jasa tumbuh sangat pesat dibanding sektor primer dan sekunder. Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan US mencapai $14 milyar pada tahun 1993 ekspor jasa Australia tela menghasilkan AUS $ 1,2 milyar. Fakta tersebut memberikan gambaran mengapa negara maju ingin melakukan liberalisasi sektor pendidikan malalui WTO. UU No.7 Tahun 1994 mengatur tata perdagangan barang, jasa dan trade related intelectual property rights (TRIPS). Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 210 juta dengan tingkat partisipasi pendidikan tinggi hanya 14 % dari penduduk usia 19-24 tahun merupakan dasar potensial. Kemampuan pendanaan terbatas dan mutu pendidikan masih perlu ditingkatkan menuju standar internasional.
“6 Negara yang meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa yaitu: Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru. Permintaan negara-negara tersebut mestinya lebih karena motif mencari keuntungan, bukan motif kemanusiaan atau budaya, padahal tiga tugas pokok pendidikan adalah: mempreservasi, mentransfer, dan mengembangkan iptek, seni dan budaya,” ujarnya.
Ditambahkan, pendidikan sangat vital peranannya dalam mentransfer nilai-nilai dan jati diri suatu bangsa yang tidak bisa begitu saja diekpor. Upaya untuk menjadikan pendidikan dan pelatihan adalah sebagai komoditas yang tata perdagangannya diatur oleh lembaga internasional bukan oleh otoritas suatu negara perlu disikapi dengan semangat nasionalisme.
“Untuk itu disepakati untuk mengusulkan langkah bertahap dalam proses liberalisasi (progresive liberalization) serta peningkatan mutu dan akreditasi. Secara nasional pengembangan pendidikan tinggi perlu mengedepankan keberagaman bukan keseragaman sehingga sesuai kebutuhan nasional dan daerah serta perguruan tinggi yang maju akan mampu bersaing dengan perguruan tinggi asing. PT BHMN akan mengadakan pembahasan lanjut langkah-langkah yang akan direkomendasikan kepada Depdiknas dan departemen terkait lainnya,” tegasnya. (Humas UGM)