Padang lamun dan mangrove menampung stok karbon dalam jumlah yang sangat besar, sehingga keduanya harus dilestarikan agar potensi mereka sebagai carbon sink alami dan agen penyerap karbon jangka panjang, serta fungsi ekologis dan ekonomis dapat terjamin. Arti penting melestarikan padang lamun dan hutan mangrove tersebut, karena keduanya jika digabungkan bernilai ekologis sebesar 1.46 billion USD per tahun.
Oleh karena itu, langkah pertama dalam mengelola habitat tersebut secara berkelanjutan adalah dengan memahami distribusi keduanya dalam konteks spasial dan temporal. Bahwa model penginderaan jauh untuk pemetaan lamun dan mangrove stok karbon yang dikembangkan diharapkan dapat digunakan mengestimasi dan menghitung blue carbon sink di Indonesia, khususnya padang lamun di pulau-pulau kecil dan hutan mangrove tipe oceanic yang masih alami.
Demikian dikatakan Pramaditya Wicaksono, S.Si., M.Sc saat menjalani ujian terbuka Program Doktor di Auditorium Merapi Gedung A Fakultas Geografi UGM, Rabu (13/5). Didampingi Promotor Prof. Dr. Hartono, DEA., DESS dan ko-promotor Drs. Projo Danoedoro, M.Sc., Ph.D, promovendus yang dosen Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi UGM mempertahankan disertasi “Remote Sensing Model development For Seagrass And Mangroves Carbon Stock Mapping”.
“Dengan agenda pemerintah yang ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritime sangat mungkin nantinya padang lamun dan hutan mangrove menjadi perhatian utama. Salah satu pilar dalam menuju Indonesia sebagai poros maritime adalah melindungi dan mengelola sumberdaya pesisir dan laut untuk ketahanan pangan melalui industri perikanan”, papar Pramaditya.
Menurut Pramaditya, melindungi kedua ekosistem ini dapat membantu terwujudnya pilar tersebut. Karena kesehatan padang lamun dan hutan mangrove sangat mempengaruhi kelestarian dan keberlanjutan dari perikanan tangkap, menjaga fungsinya dalam konteks perubahan iklim global dan sektor pariwisata.
“Akurasi peta stok karbon padang lamun dan mangrove menggunakan data multispektral dari penelitian ini dapat dijadikan baseline untuk pemetaaan di masa mendatang. Karena citra hiperspektral memiliki keunggulan spektral atas data multi spektral sehingga memiliki kesempatan yang lebih besar dalam memberikan hasil yang lebih akurat,” papar pria kelahiran Semarang, 6 Juli 1987.
Meski begitu yang tak kalah penting di masa depan, kata Pramaditya, adalah mempertimbangkan biomasa dari epifit yang menempel pada lamun dan fitoplankton yang berada di kolom air karena mereka juga berkontribusi pada resultan pantulan spektral lamun yang terekam oleh sensor dan juga pada total stok karbon ekosistem padang lamun. Karena itu, ia menyarankan dilakukanpenelitian serupa pada padang lamun dan hutan mangrove dengan kondisi biogeografi yang berbeda, dan juga dengan data penginderaan jauh lainnya baik sistim aktif maupun pasif. (Humas UGM/ Agung)