Kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005 melonjak paling tinggi dalam sejarah Indonesia, jelas berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Kenaikan ini tentu saja mempersulit kehidupan rakyat miskin yang jumlahnya cukup besar. Meskipun dihibur dengan bagi-bagi uang kompensasi, namun kenaikan harga tidak terbendung dan menjadi beban. Kompensasi BBM sebesar Rp.100.000,- yang diterimakan 3 bulan sekali tidaklah dapat menutup kebutuhan hidup orang miskin, bila tidak ada akses pekerjaan produktif. Demikian dikemukakan Dr. M. Baiquni dalam releasenya (17/10/05).
“Kenaikan BBM jelas meningkatkan tarif angkutan dan juga segala barang kebutuhan sehari-hari dan perlengkapan perjalanan. Pengaruh BBM terhadap tradisi mudik lebaran diperkirakan akan menurunkan rencana mudik yang dilakukan setahun sekali pada saat lebaran. Mengurangi berbagai belanja merupakan salah satu cara berhemat. Namun demikian bagi masyarakat miskin, permasalahannya adalah dapat memenuhi makanan dan berpakaian pantas saja sudah bersyukur”, jelas pak Baiquni.
Dosen Fakultas Geografi ini mengatakan, dibeberapa tempat lonjakan harga BBM tidak lagi menurut patokan harga dari pemerintah. Misalnya minyak tanah yang mestinya Rp.2.000,- nyatanya tidak demikian. Masing-masing daerah dapat menetapkan harga eceran tertinggi (HET), di Yogya penetapan dilakukan melalui SK Gurbernur DIY no.29/2005 harga minyak tanah Rp. 2.425,- per liter. Nyatanya di pasaran sering terjadi kelangkaan pasokan, sehingga muncul spekulasi harga hingga Rp.3.500,-.
“Harga gas untuk rumah tangga (LPG) juga mengalami gonjang-ganjing. Meskipun LPG belum dinaikkan tetapi beberapa daerah telah terjadi spekulasi dari harga yang semula Rp. 53.000,- menjadi Rp. 75.000,- dan selang beberapa hari naik menjadi Rp. 80.000,- dan barangnya langka. Kesulitan BBM dan gas rumah tangga ini, jelas membuat kekacauan dalam ekonomi rumahtangga”, ujar pak Baiquni.
Dosen Pascasarjana Program Studi Kajian Pariwisata UGM ini menuturkan, ibu-ibu rumah tangga merasa kesulitan mendapatkan BBM untuk memasak selama bulan puasa. Pola makanan yang berubah dengan adanya sahur, tidak saja memerlukan bahan bakar yang meningkat tetapi juga penggunaan listrik juga lebih tinggi. Ramadhan memang identik dengan makmurnya kehidupan malam yang ramai dengan ibadah dan acara penunjangnya. “Maka setelah lebaran nanti, pada umumnya tagihan listrik akan meningkat, belanja makanan dan pakaian malah bertambah, apalagi dengan kebutuhan perjalanan yang terkait dengan kenaikan BBM secara langsung pasti akan meningkat”, ungkap pak Baiquni.
Lebih lanjut pak Baiquni mengungkapkan, mudik lebaran sebagai tradisi, diperkirakan akan mengalami perubahan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Perjalanan mudik, silaturahmi dan rekreasi akan berkurang dan sebagai dampak dari kenaikan BBM dan melambungnya harga. Kecenderungan ini jelas harus diperhitungkan oleh para pengusaha biro perjalanan, hotel, restaurant dan obyek wisata.
Dr. M. Baiquni juga menambahkan, mengingat pentingnya rangkaian puasa dan mudik lebaran, masih banyak masyarakat yang akan berusaha sekuat tenaga untuk mudik lebaran, meskipun BBM naik. “Jadi kenaikan harga BBM dan harga-harga merupakan tantangan yang sulit dipenuhi oleh keluarga miskin, tetapi banyak keluarga akan berusaha sekuat tenaga untuk dapat memenuhinya. Karena mudik bukan persoalan fisik saja, tetapi merupakan perjalanan batin memenuhi keseimbangan hidup. Maka biar BBM naik, asalkan dapat menemukan kembali energi baru, yaitu energi ruhani untuk menjalani kehidupan yang semakin sulit sepanjang tahun lagi”, tegas pak Baiquni. (Humas UGM)