Terdapat kegelisahan identitas yang mengganggu pikiran masyarakat asli Lampung Tulang Bawang Barat (Tu-BA Barat) berkenaan dengan posisi yang terpinggirkan oleh desakan populasi pendatang transmigran Jawa yang jumlahnya diperkirakan mencapai angka 70 persen. Sementara mereka hanya 20 persen dan etnik lain sekitar 10 persen.
Kepala Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Tulang Bawang Lampung, Untung Widodo mengatakan komposisi tersebut memang tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang proyek kolonisasi era Belanda pada tahun 1905 yang dilanjutkan dengan program transmigrasi era Soekarno dan Orde Baru Soeharto. Bagi masyarakat asli Lampung, keberadaan pendatang-transmigran Jawa yang disokong oleh kebijakan pemerintah Orde Baru telah menyebabkan etnifikasi, yaitu situasi dimana mereka tidak lagi berkuasa atas tanahnya sendiri padahal mereka lahr dan besar disana.
“Transmigrasi telah menjadikan etnis lokal minoritas di tanah kampungnya sendiri”, ujar Untung Widodo dalam ujian terbuka Program Doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (18/5).
Menurut Untung Widodo, bila diteropong melalui sudut pandang budaya dan komposisi penduduknya, Tu-BA Barat bersifat unik. Ia merupakan bagian dari Bumi Sumatra dengan karakter serta budaya yang khas, tetapi sirkumstansi yang melingkupi beraroma cita rasa Jawa.
Etnik Jawa dominan pada arena pertarungan sosial, baik bahasa, nilai-nilai, tata pergaulan sosial dan terutama pada lini-lini ekonomi. Meski begitu dalam ilmu kajian budaya dengan menggunakan konsep dan definisi “diaspora”, para transmigran sejatinya hidup dalam banyak ketegangan.
Meski mayoritas dibanding dengan penduduk asli Lampung, transmigran Jawa tetaplah hidup dalam “ruang diaspora” yang mempersilahkan berbagai ketegangan bermain dalam wilayah psikologi sosial maupun personal seperti hasrat “pulang” yang senantiasa hadir, kerinduan akan kampung halaman, ketegangan mayoritas-minoritas mengenai kekuasaan dan penguasaan ekonomi, ketegangan mengenai identitas lama (sebagai orang Jawa) dan baru (sebagai orang Lampung).
“Dalam suasana ini, bersaing batas antara inklusi dan ekslusi, kecocokan dan keasingan, ‘kita’ dan ‘mereka’. Orang Lampung meski sebagai pemukim asli merasakan dirinya ‘terasing’ di tanah sendiri”, papar untung.
Oleh karena itu, dalam rangka penguatan modal budaya sebagai modal sosial strategi pengkonstruksian identitas kolektif masyarakat asli lampung dan identitas pendatang disandarkan pada filsafat tradisional yang berkembang dalam masyarakat Tulang Bawang Piil Pesenggiri. Filsafat Piil Pesenggiri ditafsirkan ulang dengan kontekstualisasi otonomi daerah atau dilakukan “reinvensi tradisi”, menghidupkan kembali nilai-nilai lama tradisi local genius dengan interprestasi kekinian.
Strategi budaya ini dengan secara cepat menemukan hasilnya pada kontestasi PILKADA. Dengan kemenangan pilihan bupati dan wakil bupati dan kursi DPRD yang mayoritas “putra daerah” secara otomatis menjadi kemenangan di jalur struktural birokrasi dan legislatif membuka peluang kongkrit bagi terbentuknya gerbong baru birokrasi.
“Jabatan-jabatan setingkat SEKDA, KADIS, KABAG, KAUR dan Camat-Camat diklaim sebagai jatah mereka, karena doktrin sosial “tuan rumah”. Bahkan dari delapan kecamatan yang ada, hanya satu camat yang dijabat orang Jawa”, kata Untung Basuki.
Karena itu, secara sosial, masyarakat asli lampung pada akhirnya memandang kelompok pendatang-transmigran Jawa menjadi dua golongan yakni warga kelas satu dan kelas dua. Memang secara verbal label “kelas satu” dan “kelas dua” tidak umum dinyatakan, namun secara tersirat dua jenis pengelompokan ini umum dipahami untuk menunjukan derajat ketokohan orang Jawa yang bersangkutan.
“Termasuk dalam kelompok kelas satu biasanya terdiri dari tokoh birokrat, tokoh masyarakat, pengusaha atau politisi terutama yang kelihatan memiliki massa, jaringan luas apalagi termasuk dalam golongan kaya. Sedangkan kelas dua seperti golongan buruh, petani dan pedagang kecil dan sejenisnya”, ungkap Untung didampingi promotor Prof. Dr. Djoko Suryo dan Prof. Dr. Irwan Abdullah saat mempertahankan disertasi “Otonomi Daerah dan Marginalisasi Politik”. (Humas UGM/ Agung)