Urbanisasi merupakan salah satu fenomena yang patut dicatat di abad ke-21. United on Environment Programme melaporkan pertumbuhan urbanisasi sangat cepat terjadi di negara-negara tropis sedang berkembang. Salah satu kenampakan jelas urbanisasi adalah perubahan penggunaan lahan, baik perubahan penggunaan lahan dari lahan kosong menjadi terbangun, lahan pertanian menjadi terbangun, maupun bangunan menjadi terbangun yang lebih kokoh.
“Curah hujan merupakan salah satu variabel iklim yang akan terpengaruh jika terjadi perubahan penggunaan lahan akibat urbanisasi. Perubahan tersebut tidak hanya meliputi jumlah atau intensitas (kuantitas), namun juga aspek kualitas”, kata Emilya Nurjani, S.Si., M.Si.
Dosen Fakultas Geografi UGM mengatakan hal itu, saat berlangsung ujian terbuka program doktor di Auditorium Merapi Gedung A Fakultas Geografi UGM, Selasa (26/5). Promovenda mempertahankan desertasi “Karakteristik Spasiotemporal Curah Hujan di Daerah Perkotaan Yogyakarta sebagai Fungsi Penutup Lahan”, dengan bertindak selaku promotor Prof. Dr. Sudarmadji, M.Eng. Sc dan ko-promotor Prof. Dr. Hartono, DEA., DESS dan Prof. Dr. Sudibyakto, M.S.
Menurut Emilya, terdapat tiga hal yang mempengaruhi sistim iklim. Pertama, terjadinya perubahan komposisi atmosfer, misalnya buangan asap industri dan kendaraan bermotor ke dalam atmosfer. Data tahun 1999-2001 memperlihatkan peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Kota Yogyakarta.
Kedua penambahan panas sistem atmosfer, misalnya buangan panas dari pembangkit listrik dan penyerapan panas siang hari melalui jalan aspal atau bahan bangunan. Radiasi yang sampai ke permukaan bumi terserap dan dipantulkan kembali ke atmosfer menjadikan emisi yang dikeluarkan akan semakin kecil.
“Rasio antara radiasi yang dipantulkan ke atmosfer dan terserap permukaan bumi dinamakan albedo. Semakin besar nilai albedo, maka semakin besar radiasi yang dipantulkan maka akan semakin kecil pelepasan panas. Tanah dan aspal memiliki albedo yang kecil, 0,05-0, 04 dan 0,05-0,1. Artinya tanah dan aspal menyerap radiasi matahari yang tinggi, akibatnya panas yang terdapat di daerah perkotaan akan bertambah”, paparnya
Ketiga yang mempengaruhi sistem iklim, kata Emilya, adalah mengubah karakteristik permukaan bumi. Misalnya sawah diubah menjadi lahan permukiman ataupun perdesaan berubah menjadi perkotaan. Struktur udara diatas kota mengandung jumlah debu yang lebih banyak sehingga dapat meningkatkan jumlah partikel higroskopik.
“Akibatnya jumlah uap air berkurang dibandingkan kandungan karbondioksida yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Perubahan penggunaan lahan di kota ini juga menyebabkan perubahan struktur permukaan kota”, jelasnya.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, Emilya memaparkan bahwa secara spasial curah hujan bulanan dan curah hujan tahunan daerah perkotaan Yogyakarta mempunyai kemiripan, karena dipengaruhi oleh faktor orografis. Curah hujan berkisar antara 1100 mm hingga 2500 mm. Karena itu, curah hujan tinggi terdistribusi di utara dan barat laut wilayah penelitian. Artinya pengaruh orografik juga terlihat pada curah hujan tahunan.
“Curah hujan rendah terjadi di Mrican, sedangkan curah hujan tinggi terjadi di Santan. Artinya curah hujan tinggi terjadi di daerah downwind. Daerah Mrican berada di pusat kota dan bagian selatan dari daerah penelitian”, imbuhnya. (Humas UGM/ Agung)