Dekan Fakultas Syari’ah Institut Studi Islam Fahima (ISFI) Cirebon drs. A.Zaini Dahlan,M.A., berhasil meraih gelar doktor usai menjalankan ujian terbuka program doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (1/6). Bertindak selaku promotor Prof.Dr. Siti Chamamah Soeratno dan ko-promotor Prof.Dr. Ahmad Mursyidi,M.Sc.,Apt., dan Prof.Dr. Sangidu,M.Hum.
Dalam disertasi berjudul “Konsep Makrifat Menurut Al-Ghazali dan Ibnu Arabi: Analisis Resepsi dan Intertekstual dalam Kitab Al-Ihya dan Al-Munqidz Dengan Kitab Al-Futuhat dan Al-Fushush, Zaini menyebutkan bahwa terdapat perbedaan konsep yang berbeda tentang makrifat antara kedua filosof muslim tersebut. Konsep makrifat menurut Al-Ghazali adalah memahami rahasia-rahasia ketuhanan dan ketentuan-ketentuan Tuhan yang melingkupi segala hal yang ada. Sementara pada pendapatnya yang lain yang dipengaruhi oleh al-Junayd, makrifat adalah melihat bahwa alam semesta sebagai realitas satu kesatuan yaitu Allah.
“Bagi Al-Ghazali alat untuk bermakrifat adalah hati, bukan indra dan juga bukan akal. Sedangkan Ibnu Arabi berpandangan makrifat tidak perlu alat karena merupakan dzaud yakni cahaya pengetahuan yang diberikan Tuhan ke hati para wali-Nya,”jelasnya.
Makrifat dalam bentuk karamah menurut Al-Ghazali, kata dia, nilainya setingkat berada di bawah wahyu. Sementara itu menurut Ibnu Arabi, makrifat dalam bentuk mengetahui hal-hal gaib baik yang terdapat pada nabi atau pun rasul posisinya sama.
“Al-Ghazali menolak terjadinya syatahat, sedangkan Ibnu Arabi menerima hal itu. Sementara terkait penafsiram Al-Qurb (kedekaatan) dalam hadits kudsi dengan itthidad dan hulul Al-Ghazali menilai berlebihan pad ahal tersebut, sedangkan Ibnu Arabi menjadikannya sebagai dasar dalam ajaran wahdatul wujudnya,” tambah Zaini.
Melihat beragamnya pemahaman ajaran agama, dalam hal ini ajaran makrifat, Zaini merekomendasikan kepada pemerintah atau lembaga terkait untuk menyusun undang-undang tentang aturan bersama terkait pelaksanaan ajaran agama bagi para pemeluk agama-agama di Indonesia. Pasalnya perbedaan pendapat tersebut rentan melahirkan polemik yang berpotensi memicu terjadinya konflik. Undang-undang yang disusun hendaknya memuat prinsip-prinsip dasar dalam upaya menjunjung tinggi toleransi dan menghindari berbagai tindak anarkis dan radikal. (Humas UGM/Ika)