Perubahan penggunaan lahan pertanian paling banyak terjadi karena dipicu oleh tuntutan ekonomik. Ditandai dengan produksi tinggi atau keuntungan besar dan kurang mempertahankan aspek lain (lingkungan).
Penerapan tipe pemanfaatan lahan (LUT) di suatu hamparan lahan tertentu yang tidak tepat tentu berdampak negatif secara ekologik. Dampak tersebut biasanya diketahui setelah proses kerusakan lahan telah berlangsung.
“Pada awalnya gejala kerusakan sumberdaya lahan terjadi di area perbukitan atau di hulu DAS”, kata Ir. Sriyanto Waluyo, M.Sc, dalam ujian doktornya di sekolah Pascasarjana UGM, Sabtu (30/5).
Seperti di DAS Putih Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. Menurut Sriyanto, di DAS Putih telah terjadi perubahan pemanfaatan lahan pertanian. Petani yang semula menanam jagung, wortel dan tembakau dan kobis, mulai tahun 1980 berganti menanam kentang, wortel dan kobis.
Perubahan pemanfaatan lahan telah membuat keadaan pertanian di DAS Puti berubah secara signifikan. Budidaya kentang menggunakan pola tanam kentang-kentang-kentang (K-K-K) dan masukan luar tinggi (HEIA) memberi hasil yang besar bagi petani.
“Setelah dua dasa warsa kentang dibudidayakan di DAS Putih, mulai terlihat gejala penurunan hasil”, tutur dosen Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian UGM.
Hal tersebut, kata Sriyanto, karena pengelolaan lahan dan tanaman kentang menyebabkan lapisan tanah olah menipis. Bahkan hilang akibat erosi sehingga tanah tidak mampu mendukung kebutuhan untuk pertumbuhan dan hasil kentang.
Pola tanam dengan tanaman yang sama dalam satu tahun menyebabkan timbulnya masalah organisme pengganggu tanaman (OPT) baru. Pengendalian OPT menggunakan bahan kimia pertanian secara terus menerus menyebabkan resistensi OPT dan sulit dikendalikan dan mengakibatkan problematik lingkungan pertanian semakin kompleks.
Mempertahankan desertasi berjudul Optimalisasi Tipe Penggunaan Lahan Pertanian Berbasis Agroekosistem di daerah Aliran sungai Putih kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah, Sriyanto menjelaskan erosi di daerah hulu (DAS Putih) berakibat timbulnya masalah sedimentasi dan eurofikasi di daeah tengah dan hilir. Oleh karena itu, perencanaan penggunaan lahan pertanian secara sistimatis dengan pendekatan 2system2c dapat diawali dari daerah hulu.
“Analisis 2 sistem penggunaan lahan pertanian merupakan alat bantu (tool) dalam perencanaan penggunaan lahan (lend use planning). Dengan sistem tersebut diharapkan agar lahan diposisikan pada penggunaan paling menguntungkan, dalam waktu yang sama kualitas lingkungan tetap terpelihara dengan baik”, jelasnya didampingi promotor Prof. dr. suratman Woro Suprodjo, M.Sc dan ko-promotor Prof. Dr. Ir. Prapto Yudono, M.Sc dan Prof. Dr. ir. Bambang Hendro S., SU. (Humas UGM/ Agung)