Penatalaksanaan dalam menangani kasus-kasus epilepsi pada anak ternyata tidaklah mudah. Hal itu dapat dilihat dari sudut ketaatan orang tua dalam memberikan terapi, pembiayaan, kebosanan minum obat tiap hari, efek samping obat dan lain-lain.
Meski masyarakat awam berpendapat epilepsi tidak dapat disembuhkan, namun hal penting yang perlu diketahui epilepsi pada anak dapat disembuhkan. Sehingga menjadi wajar manakala diagnosis ditegakkan dan disampaikan kepada keluarga, mereka seolah seperti mendengar petir di siang bolong kaget, takut, malu dengan perasaan yang tidak menentu.
“Istilah epilepsi atau “ayan” sering sekali kita dengar, dan bahkan merupakan penyakit yang menakutkan pada masyarakat yang belum mengetahui apa sebenarnya epilepsi. Sering juga anak yang didiagnosis epilepsi dianggap sebagai stigma atau aib pada keluarga sehingga mereka berusaha menutupi keadaan yang sebenarnya”, ujar Prof. Dr. dr. Elisabeth Siti Herini, Sp.A(K) saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM, di ruang Balai Senat, Selasa (9/6).
Menurut Elisabeth Herini, epilepsi merupakan gangguan neurologis yang sering terjadi pada masa kanak-kanak dengan aktivitas neuron yang berlebihan dan tidak normal di otak. Secara klinis epilepsi didefinisikan sebagai serangan kejang yang berulang dengan jarak lebih dari 24 jam tanpa penyebab yang jelas.
Diseluruh dunia diperkirakan 50 juta orang menyandang epilepsi dan 10,5 juta diantaranya terjadi pada anak dibawah usia 15 tahun. Penelitian berbasis populasi mendapatkan insiden tahunan epilepsi pada masa kanak-kanak 61-124 per 100.000 di negara-negara sedang berkembang dan 41-50 per 100.000 di negara-negara maju.
Data prevalensi epilepsi di Iran berkisar 5 persen, di Hongkong 4,5 per 1000 anak berumur kurang dari 19 tahun, di Eropa dan Amerika Utara bervariasi 3,6 – 6,5 per 1000, sedangkan di Afrika dan Amerika Latin 6,6 – 17 per 1000. Sedangkan di Indonesia belum ada data mengenai prevalensi maupun insiden untuk menyandang epilepsi pada anak.
“Berdasar perkiraan WHO pada tahun 2012 untuk negara yang sedang berkembang, prevalensi epilepsi sekitar 6 – 10 per 1000 penduduk. Untuk penduduk Indonesia yang berjumlah 245 juta, dengan jumlah anak sampai usia 14 tahun 27,3 persen, diperkirakan jumlah penyandang eilepsi pada anak sekitar 400 ribu – 660 ribu. Jumlah yang cukup banyak dan perlu perhatian khusus untuk menanganinya”, ujarnya.
Elisabeth menjelaskan terdapat 2 macam penatalaksanaan epilepsi, yaitu pengobatan dengan farmakoterapi dan non-farmakoterapi. Untuk farmako-terapi diberikan terapi obat-obatan, diantaranya fenitoin, karbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, asam valproate, klonazepam, fenobarbital (agonis GABA), topiramat, ethosuximide, felbamate, levetiracetam, primidone, vigabatrin dan zonisamide.
“Sedangkan non-farmakoterapi ada 3 macam, yaitu diet katogenik, stimulus nervus vagus dan terapi bedah”, jelasnya.
Mengucap pidato pengukuhan Epilepsi Pada Anak: Bagaimana Meningkatkan Kualitas Hidup Anak Dengan Epilepsi?, Elisabeth Herini berharap dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada pada anak penyandang epilepsi, maka kolaborasi antara sekolah, orang tua, anak dan tim kesehatan perlu ditingkatkan. Dengan upaya itu diharapkan kemampuan anak penyandang epilepsi dapat maksimal.
“Meskipun komunikasi antarsemua orang yang terlibat dengan anak dan anaknya sendiri sudah difasilitasi, hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah namun merupakan tanggung jawab bersama”, papar Direktur Medis dan Keperawatan RS UGM. (Humas UGM/ Agung)