YOGYAKARTA – Kawasan Keraton Kasepuhan Cirebon syarat akan nilai-nilai budaya dan khazanah lokal, sehingga memiliki potensi dalam mengisi konsep perencanaan pembangunan, khususnya untuk mempertahankan bangunan-bangunan pusaka budaya dan bisa menjadi sumber pengetahuan baru. Di keratin kasepuhan, terjadi pergeseran dari praktik perencanaan pembangunan yang mengutamakan nilai-nilai normatif simbol menuju perencanaan yang bersifat pragmatis kebermanfaatan. Hal itu dikemukan Dosen Jurusan Teknik Perencanaan wilayah dan Kota Universitas Islam Bandung, Ina Helena Agustina, menangapi perubahan tata ruang kawasan keraton Kasepuhan Cirebon.
Dari hasil penelitiannya, Agustina mengatakan kawasan budaya Keraton Kasepuhan memiliki struktur hierarki ruang berupa tiga tingkatan pengaturan yakni ruang inti, ruang tengah dan ruang luar yang berbeda, “Semakin mendekati inti maka semakin dikendalikan kegiatan yang diperkirakan mengurangi nilai ruang inti tersebut,” kata Agustina dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Teknik UGM, Rabu (17/6).
Sedangkan semakin keluar, maka diatur integrasinya dengan sistem yang lebih makro dengan berintegrasi dengan perencanaan kota cirebon atau kabupaten Cirebon. Dia mengatakan terdapat 12 sumber informasi ruang dalam kawasan keraton kasepuhan yakni ruang puncak mahameru, ruang negaragung, ruang mancanegara, ruang pesisir, ruang tanah sebrang, ruang astana gunung jati, ruang magersari, ruang lawangsanga, tradisi esoterik, kepemimpinan Gusti Sepuh XIV, kegiatan wisata peziarahan, dan kegiatan pernihakan putra Gusti Sepuh XIV. Dari ke 12 unit informasi itu, bisa dibagi menjadi 7 tema ruang, yakni ruang nyalon, ruang dialog, ruang keramat, ruang pengembangan usaha, ruang ibadah berjamaah, ruang tawasulan, dan ruang bermukim wargi.
Konsep ruang dalam kawasan keraton kasepuhan saat ini diakui Ina mengalami gradasi dari ruang yang sudah ada. Gradasi tersebut menunjukkan intensitas yang berbeda yang dipengaruhi oleh gerak mental yang terjadi di ruang kesadaran manusia. “Gradasi ruang dimulai dari ruang inti puncak mahameru, negaragung, ruang mancanegara, ruang pesisir hingga ruang tanah sebrang,”katanya.
Gradasi pergeseran itu ditunjukkan melalui intensitas aktifitas yang terjadi di ruang tersebut. “Semakin ke luar semakin menunjukkan intensitas maka kebermanfaatan yang semakin tinggi,” ujarnya.
Sehubungan adanya pergeseran makna ruang di keraton kasepuhan ini, Ina berharap pemerintah pusat untuk mengevaluasi kembali semua kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan kawasan budaya. Pasalnya setiap kawasan budaya memiliki spesifikasi keunikan yang tidak dapat disama ratakan pengaturannya. Dia juga meminta dukungan pemerintah daerah untuk terus memberi dukungan kelangsungan eksistensi keraton kasepuhan Cirebon. Alsannnya gerak mental raja dan komunitas adalah suatu tindakan yang memiliki bilai budaya lokal. Sementara upaya Raja dan komunitas yang mempertahankan eksistensi ruang keraton perlu diapresiasi. (Humas UGM/Gusti Grehenson)