YOGYAKARTA – Karya sastra merupakan cermin dari kondisi kehidupan sebuah masyarakat. Teks sastra tak ubahnya rekaman dari peristiwa nyata yang pernah terjadi di tengah masyarakat. Hanya saja, kenyataan yang ditulis dalam sastra bukan lagi kenyataan yang sesungguhnya melainkan sudah diinterpretasikan. Seperti halnya Novel ‘Fi Baitin Rajul’ karya Ihsan Abdul-Quddus merupakan novel dilatarbelakangi oleh kondisi Mesir sebelum revolusi 23 Juli 1952. Adapun sang penulis, mengalami langsung peristiwa itu.
Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, Sidqon Maesur, Lc., M.A., mengatakan sang pengarang melalui tokoh utama Ibrahim Hamdy dalam novelnya, berpandangan bahwa penjajah tidak akan bisa leluasa melancarkan aksinya kecuali lewat dukungan dari penguasa. “Di novel itu dijelaskan penguasa telah berkhianat karena menjadi antek penjajah, agar penjajah pergi maka sang penguasa harus dilenyapkan,” ujar Sidqon saat menempuh ujian doktor untuk bidang Minat Kajian Timur Tengah dari program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pasacasarjana UGM, Rabu (17/6).
Di novel itu, kata Sidqon, Ihsan Abdul Quddus menekankan perlunya kerja sama yang solid antarnasionalis aktif yang bersikap ekstrim dengan nasionalis pasif yang bersikap moderat di setiap perjuangan nasioanl. Sebab, masing-masing memiliki peran yang sangat penting. “Nasionalis aktif tidak akan mampu melaksanakan misinya jika tanpa ditopang nasionalis pasif,” kata Sidqon dalam ujian yang berlangsung di ruang auditorium Sekolah Pascasarjana UGM.
Sidqon mengatakan dari novel yang berkisah tentang politik ini menegaskan bahwa aksi perjuangan perlu didasari ketulusan hati dan tanpa pamrih atau bersih dari niat meraih kepentingan pribadi, kepentingan politik maupun unsur ideologi tertentu. “Patriotisme perjuangan hanya terjadi karena terdorong oleh perasaan senasib bersama,” terangnya.
Novel ini juga kata Sidqon menggugah kesadaran pembacanya tentang pentingnya komitmen terhadap pendidikan, nilai-nilai norma, adat istiadat dan agama. (Humas UGM/Gusti Grehenson)