Demam tifoid yang disebabkan oleh Salmonella enterica serovar Typhi (S. typhi) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, khususnya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. World Health Organization memperkirakan terdapat 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insiden 600 ribu kasus kematian tiap tahun.
Sementara itu, di negara-negara dengan status endemis demam tifoid sebanyak 95 persen merupakan kasus rawat jalan, sehingga insiden yang sesungguhnya 15 – 25 kali lebih besar dari laporan rawat inap rumah sakit. Di Indonesia, insiden demam tifoid masih tinggi, bahkan menempati urutan ketiga diantara negara-negara di dunia.
“Penyakit ini dapat ditemui sepanjang tahun dengan angka kesakitan pertahun mencapai 157 per seratus ribu populasi pada daerah semi rural, dan 810 per seratus ribu pada daerah urban dan cenderung meningkat tiap tahunnya,” kata dr. Nataniel Tandirogang, M.Si di Fakultas Kedokteran UGM, Senin (29/6).
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman mengatakan hal itu, saat berlangsung Ujian terbuka Program Doktor Fakultas Kedokteran UGM. Mempertahankan desertasi “Hubungan Gen Pengkode Flagellins S. typhi dengan Distribusi Geografis, Motilitas, dan Melena pada Penderita Demam Tifoid di Kutai Barat, Kalimantan Timur”, promovendus didampingi promotor Prof. drh. Widya Asmara, SU., Ph.D dan ko-promotor dr. Abu Tholib Aman, Sp.MK(K), M.Sc., Ph.D dan Prof. Dr. Moch. Hatta, Sp.MK(K)., Ph.D.
Berdasarkan riset kesehatan dasar yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes pada tahun 2007 ditemukan prevalensi penderita demam tifoid sebesar 1,6 persen. Sedangkan di Kalimantan Timur tidak ada data yang akurat yang menunjukkan insiden demam tifoid, tetapi berdasarkan sensus kesehatan dasar yang dilakukan oleh Litbangkes Depkes pada tahun 2007 menunjukkan prevalensi kasus demam tifoid sebesar 1,8 persen dan termasuk 12 provinsi dengan insiden tifoid diatas angka nasional.
“Demikian halnya di Kabupaten Kutai Barat, berdasarkan laporan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes tahun 2009, prevalensi demam tifoid sebesar 1,3 persen. Karena itu penelitian dalam desertasi ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kekerabatan S. typhi dan pola penyebarannya di Kutai Barat. Mengetahui keberadaan gen pengkode flagellin S. typhi dan penyebarannya di Kutai Barat, dan mengetahui motilitas S. typhi secara in vitro berdasarkan gen pengkode flagellin yang dimilikinya dan pengaruhnya terhadap kejadian melena pada penderita demam tifoid di Kutai Barat”, ujarnya.
Hasil penelitian memperlihatkan biodiversitas genetik juga terjadi pada gen flagellin di Kutai Barat, yaitu dengan ditemukannya 3 variasi gen pengkode yakni fliC d, fliBz66 dan Z66Ind. Dua yang terakhir tidak lazim ditemukan di negara lain. Bahwa variasi keberadaan gen pengkode flagellin ini melengkapi informasi sebelumnya yang juga telah dilakukan di beberapa kota besar di indonesia, seperti di Jakarta, Yogyakarta, Palembang, Surabaya dan Makassar dan Palu.
“Dengan gen fliC d memberi kemungkinan 9.2x lebih banyak menyebabkan melena pada penderita demam tifoid bila dibandingkan dengan S. typhi yang memiliki gen fliBz66 dan 17.5x lebih banyak bila dibandingkan S. typhi dengan gen z66Ind”, katanya. (Humas UGM/ Agung)