YOGYAKARTA – Hepatitis kronik merupakan penyakit hati kronik yang ditandai dengan pembentukan jaringan fibrosis dan nodul-nodul regeneratif. Fibrosis pada hati disebabkan akumulasi jaringan matriks ekstraseluler yang menyebabkan perubahan molekuler dan histologi hati. Penyebab munculnya penyakit ini disebebkan sindroma metabolik, kolestasis, alkohol, infeksi virus hepatitis B dan C serta paparan aflatoksin. “Infeksi virus hepatitis B dan C merupakan penyebab penting terjadinya fibrosis karena perjalanan alamiah kedua virus tersebut,” kata dr. Wahyu Siswandari, Sp.PK., M.Si. Med., dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Kamis (2/7).
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto ini mengatakan tidak mudah untuk mengetahui gejala penyakit hepatitis kronik. Selama ini untuk mendiagnosa adanya kelainan berupa fibrosis hati dengan cara pemeriksaan biopsi hati untuk dapat mengetahui penyebab penyakit, tingkat keparahan nekroinflamasi dan fibrosis. “Pemeriksaan melaui biopsi hati ini ternyata bisa menimbulkan rasa nyeri, komplikasi seperti infeksi dan pendarahan sehingga menyebabkan pasien menolak untuk dibiopsi,” katanya.
Pemeriksaan lain seperti ultra sonografi dapat digunakan menilai fibrosis dengan tingkat ketepatan antara 80-90 persen namun pemeriksaan ini hanya dapat dilakukan seorang ahli. Pemeriksaan lainnya dengan elastography atau dikenal dengan nama fibroScan memiliki tingkat akurasi diagnostik namun menurun pada fibrosis derajat awal. “Pemeriksaan ini membutuhkan alats psesifik dan ahli untuk menginterprestasikan,” imbuhnya.
Mengatasi kendala ini, Wahyu mengatakan ia melakukan penelitian mengembangkan pemeriksaan lain melalui biomarker non invasif untuk melakukan penentuan derajat fibrosis. Penelitian awal ini dilakukan dengan menggunakan 48 hewan percobaan tikus putih (Rattus novergicus) strain Sprague-Dawley jantan, umur 2 bulan, dengan berat 220-249 gram yang dibagi menjadi 6 kelompok. Kelompok pertama mendapatperlakuan berupa pemberian olive oil lewat injeks sementara 5 kelompok lainnya mendapat perlakukan berupa pemberian CCL4 yang dicampur dengan olive oil dengan injeksi peritoneal.
Selanjutnya, selama kurang lebih 12 minggu, hewan percobaan ini diperiksa kadar trombopoietin, transforming growth factor ?1 (TGF- ?1) dan angiotensin II serta jaringan hati pemeriksaan derajat fibrosis. Menurut Wahyu, dari penelitian ini diketahui terdapat hubungan hubungan negatif antara kadar trombopoietin dengan derajat fibrosis hati. Lalu tidak terdapat hubungan kadar TGF- ?1 dengan derajat fibrosis hati. Namun terdapat hubungan posistif antara angiotensin II dengan derajat fibrosis hati.
Wahyu mengatakan pemeriksaaan kadar tromboitein, TGF- ?1 dan angiotensin II potensial untuk dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining fibrosis. Dengan begitu, pemeriksaan fibrosis pada hepatitis kronik terdeteksi dan tertangani lebih awal dan bisa memberikan respon terapi penyakit hepatitis yang lebih baik. (Humas UGM/Gusti Grehenson)