Indonesia secara biogeografi memiliki keunikan, pulau-pulau yang dibatasi secara langsung oleh keberadaan ring of fire ataupun kondisi vulkanologi yang cukup aktif dapat memberikan nilai tersendiri dari setiap pulau. Begitu pula dengan garis wallacea dan weber yang melintas beberapa pulau di Indonesia memberikan informasi hotspot terhadap keunikan biodiversitas yang ada. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara megabiodiversity.
Degradasi habitat, perubahan alih fungsi lahan secara besar-besaran untuk pertanian ataupun perkebunan tanpa memperhatikan kearifan lokal, hingga perdagangan flora dan fauna baik ilegal maupun legal memberikan dampak negatif pada keberadaan biodiversitas. Sementara itu, trafic trade yang padat menjadi kesibukan dalam setiap aktivitas keseharian penduduk di Indonesia. Penyelundupan satwa dan atau tumbuhan ke negara-negara seperti Thailand, Singapura, Malaysia dan Cina sangatlah besar saat ini.
Hal ini mengemuka dalam seminar revisi materi pasal-pasal dalam PP No.8 tahun 1999, tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar, yang dilaksanakan belum lama ini di Fakultas Biologi UGM.
Hadir dalam acara tersebut, yaitu Dr. Titiek Setyawati (KLHK), Prof. Dr. Rosichon Ubaidillah (LIPI), Totok Dwi Diantoro, S.H., M.Si., MA (Pemerhati dan ahli hukum) dan Dr. Ir. Eny Faridah, M.Sc (Pemerhati dan ahli hukum).
Prof. Dr. Rosichon Ubaidillah (LIPI) menegaskan, seiring dengan revisi PP No.8 tahun 1999, diharapkan pula adanya peninjauan PP No.7 tahun 1999 tentang perlindungan biodiversitas, karena sampai saat ini masih cukup banyak flora dan fauna yang belum masuk dalam list dilindungi, sementara kenyataannya hampir punah atau critical endangered spesies.
“Penguatan database biodiversitas dan pengelolaan open database acces untuk mendapat perhatian dari berbagai kalangan baik stakeholder, praktisi maupun masyarakat dapat terus dikembangkan,” kata Rosichon.
Sementara dilihat dari sudut pandang pemerhati dan ahli hukum Totok Dwi Diantoro, S.H., M.Si., MA dan Dr. Ir. Eny Faridah, M.Sc, memandang bahwa PP tersebut sebenarnya masuk dalam level SK dan dipertegas dalam UU. Gagasan PP bersifat konvensional dengan materi bersifat relevan untuk setiap kondisi yang diangkat (biodiversitas Indonesia). Dengan begitu, penerapannya dan sosialisasi ke berbagai pihak dapat terealisasi dengan baik.
“Konservasi adalah melestarikan, mengelola dan memanfaatkan secara arif dan bijaksana tanpa mengganggu endemisitas atau animal welfare, melestarikan bukan dalam pemikiran memindahkan dari habitatnya atau merawat dalam sangkar. Tetapi melestarikan dalam arti membiarkan mereka hidup di alam sebagai wujud keseimbangan ekosistem,”jelas Totok.
Mereka berharap melalui rekomendasi yang tertuang dalam perbaikan atau revisi PP No.8 tahun 1999 dan PP No.7 tahun 1999 ini dapat memberikan sumbangsih besar untuk sumberdaya alam dan biodiversitas yang ada (Humas UGM/Satria)