Konstruksi pembangunan di Indonesia yang dimulai sejak dekade tahun 1970-an tidak sepenuhnya mensejahterakan masyarakat. Berbagai program pembangunan dilakukan guna meningkatkan taraf hidup dengan berbagai agenda dan program-program pengentas kemiskinan namun percepatan pembangunan jalan ditempat bahkan tidak jalan sama sekali. Terobosan pembangunan melalui konsep community development yang mengintegralkan pembangunan berspirit modernitas juga tak mampu mendongkrak kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan di berbagai daerah di Indonesia yang justru sebaliknya menciptakan ironi pembangunan.
“Pasca-Reformasi, lahirnya gagasan percepatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat daerah yang diwujudkan dengan berbagai program pembangunan di antaranya PNPM, seolah menjadi anti-klimaks kebuntuan konsep pembangunan dan pemberdayaan di setiap daerah,” papar Pahada Hidayat, pada ujian terbuka program doktor program studi Kajian Budaya dan Media, belum lama lalu di Sekolah Pascasarjana UGM.
Pada kesempatan tersebut Pahada mempertahankan disertasinya berjudul “Kontestasi dan Relasi Kuasa Dalam Pemberdayaan Masyarakat di Daerah (Studi Kasus pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Tulang Bawwang Barat)”.
Menurut Pahada, PNPM seolah mengokohkan peran dominasi pusat atas daerah dengan gagasan yang seolah-olah lahir dari keinginan masyarakat daerah itu sendiri. Ironisnya, bila ditelaah lebih jauh, PNPM berhasil secara prosedural, tapi justru terlihat gagal secara subtansial. Tidak ada tolak ukur sejauhmana keberhasilan program PNPM berhasil memuaskan masyarakat dan menciptakan kemandirian.
“Persoalan semakin rumit ketika program PNPM justru menjadi arena pertarungan para elit lokal, elit birokrat dan elit politik yang kerap bersuara paling keras memperjuangkan kepentingan masyarakat yang sebenarnya representasi dari kepentingan mereka sendiri,”imbuhnya.
Para elit tersebut merasa mempunyai peran strategis pada pelaksanaan proyek PNPM di setiap daerah. Bisa diduga, motif perkoncoan maupun kapitalisme birokratik memainkan peran penting dari program PNPM yang dilaksanakan hampir di setiap daerah. Namun, program PNPM lebih banyak mengandung bias daripada kesejahteraan buat masyarakat di daerah. Kepentingan elit birokrat, elit politik, dan elit lokal sebenarnya dapat dilihat dari bagaimana keberpihakan negara menguntungkan perusahan-perusahan di daerah.
“Konglomerasi perusahaan menerima keuntungan cukup besar dari adanya program PNPM daerah karena perbaikan kualitas infrastruktur jalan dan jembatan misalnya, memudahkan mobilitas vertikal dan horizontal usaha mereka, sementara itu masyarakat daerah tak mampu berbuat apa-apa,”kata Pahada. (Humas UGM/Satria)