Masyarakat tani sampai saat ini tidak menikmati hasil pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian tampak pesat dengan segala input: sarana produksi dan alat produksi. Namun, pada dasarnya pembangunan pertanian ini tidak sanggup (gagal) mengubah peasant menjadi farmer. Padahal, pembangunan pertanian yang dimulai tahun 1968 setelah presiden berpidato di depan DPRGR pada tahun tersebut selalu menekankan pada peningkatan produksi pangan, beras, dengan penggunaan bibit unggul seperti Peta Baru (PB).
“Akibatnya, pembangunan pertanian terus ‘menggempur’ desa dengan bibit hasil pemuliaan dari IRRI seperti IR 36 dan IR 64,” papar Gutomo Priyatmono pada ujian terbuka program doktor Ilmu-ilmu Humaniora (Sastra) di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Selasa (14/7).
Gutomo mempertahankan disertasinya berjudul “Hubungan Antar Struktur Produksi Masyarakat Tani Sawah Basah 1960-an sampai dengan 2000-an (Studi Kasus Dusun loh Banyu, Kabupaten Sleman)“.
Ia menjelaskan keberadaan buruh adalah realitas yang sedang terjadi di Loh Banyu, Sleman, yaitu dengan hubungan produksi mburuhke: bahu (pengelola) dengan buruh (non-pengelola) yang berkembang di sana, dusun seluas 35 ha dengan 114 kk yang ada di Pakeman, Sleman.
Di dusun yang kaya dengan air, melimpah sepanjang tahun, dengan masa tanam (MT) sebanyak tiga (3) kali ternyata hampir semua petani menjadi buruh dengan hubungan produksi mburuh. Dengan keluarga petani dengan kepemilikan lahan ada di tangan 3 orang, yaitu lebih 2 hektar sementara 19 kk orang petani dengan lahan 1.000 meter hingga 4.000 meter persegi, dan selanjutnya 26 tanpa lahan sama sekali yang disebut buruh, atau kongkonan (orang suruhan).
“Keluarga-keluarga tersebut saling bekerja sama dalam penggarapan baik di musim hujan maupun kemarau. Yang dominan ditanam antara lain IR 64 serta varietas baru lainnya,” imbuhnya.
Pasca swasembada terhenti tahun 1990 hingga kini ternyata keluarga-keluarga petani di Loh Banyu ini masih dalam tahap mencari keseimbangan. Keseimbangan kecukupan keluarga petani di Loh Banyu, produksi sama dengan konsumsi tidak dari hasil panen melainkan dari upah mburuh.
Di sisi lain, struktur produksi di Loh Banyu seluruhnya adalah input kapitalistik atau dihasilkan dari model produksi kapitalistik untuk usaha tani yang menguntungkan (farming) dan bukan untuk usaha tani yang hanya mewujudkan keseimbangan (peasant). Padahal konsep petani kita adalah peasantry.
“Jadi, yang terjadi di sana adalah farming dalam peasanting. Pola mburuh ini adalah keberlanjutan dari pola sebelumnya dan kurang berdampak baik bagi pembangunan pertanian,” tegas Gutomo. (Humas UGM/Satria)