Peran ideal kurator adalah bersikap memihak pada nilai-nilai yang bersumber pada pengamatan terhadap realitas sekitarnya. Ia berada di luar kekuasaan arus utama, di luar kehendak negara (birokrasi), dan berada di luar kehendak pemilik modal serta mendorong terjadinya perubahan berpikir, artistik, estetik, dan bentuk seni.
Dalam pandangan Drs. Suwarno., M.Hum, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, kehadiran kurator adalah omnipresent, hadir dimana-mana dalam proses perubahan. Ia bergerak pada wilayah pemikiran karya seni yang bermakna dan kurator tidak tunduk dan merunduk pada kepentingan pasar atau birokrasi.
“Peran ideal kurator juga ditunjukkan dengan tidak berpihak pada banalitas, gagasan dan bentuk karya seni rupa, dan tunduk pada kepentingan pasar. Ia berpeluang menolak untuk melakukan selebrasi atas banalitas yang terjadi. Karena itu diperlukan kecermatan dalam melihat gagasan perupa dan karyanya untuk memetakan potensi dan tanda-tanda keberpihakan,” ujarnya di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin sore (13/7).
Melakukan ujian terbuka dengan didampingi promotor Prof. Dr. Heru Nugroho serta ko-promotor Dr. S. Bayu Wahyono dan Dr. GR Lono Lastoro Simatupang, MA; Suwarno menyebut disertasinya “Kuasa Kurator dalam Arus Industrialisasi Seni Rupa Indonesia” merupakan topik yang menunjukkan realitas praktik kuratorial yang sensitif. Bahwa pertanyaan muncul di sekitar netralitas versus kepentingan banyak pihak, terutama kepentingan pasar (ekonomi) atau negara (birokrasi) dan keberpihakan kurator.
“Karena itu dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik sebagai perangkat analisis terhadap praktik kurator di tengah arus industrialisasi seni rupa, dapat menjelaskan perihal ‘kuasa kurator’ dan ‘industrialisasi’ seni rupa Indonesia”, katanya.
Kuasa kurator dimaksudkan sebagai istilah yang mengakomodasi pengertian bahwa praktik kuratorial merupakan operasionalisasi kekuasaan yang dimiliki oleh kurator. Kuasa dalam hal menentukan makna, tema, wacana dan kualitas karya seni rupa yang kelak dimahkotakan (disematkan) kepada perupa dan karyanya. Kuasa ini tentu saja dinegosiasikan kepada perupa dan pihak-pihak pendukung seni rupa lainnya (negara, pasar, patron).
Sementara istilah industri memang diakui sebagai yang berpotensi menimbulkan salah paham terutama di kalangan para perupa. Meski begitu istilah ini tetap dipergunakan dengan keyakinan bahwa praktik seni rupa di Indonesia berkembang semakin mendekat pada kecenderungan industrial.
Kecenderungan ini, menurut Suwarno sebagai konsekuensi antara lain padatnya agenda aktivitas pameran terutama bagi perupa yang memiliki reputasi dan prestasi. Pameran menjadi semacam etalase yang berdampak luas bagi perupa, misalnya minat para kolektor, pencinta seni, pasar atau art dealer terhadap karya-karya yang bersangkutan.
“Industri yang dimaksud terkait dengan menjaga profesionalitas, karena itu memerlukan sejumlah perangkat dan pendukung (artisan) termasuk manajer untuk mengelola dan mengatur pra-industri, produksi, pasca produksi dan berbagai aktivitas lainnya. Inilah realitas praktik pemikiran dan penciptaan seni rupa Indonesia yang dikepung oleh pragmatisme ekonomi. Kenyataan ini tentu menjadi tantangan tidak sederhana bagi kurator dalam mengaransemen sebuah pameran seni rupa,” tuturnya.
Karena itu, di akhir disertasi Suwarno berharap jagad kurator seni rupa Indonesia perlu kode etik (code of conduct). Hal itu dilakukan agar tidak terjadi penyelewengan atau penyalahgunaan pratik kuratorial. (Humas UGM/ Agung)