Bencana tanah longsor masih menjadi salah satu bencana yang sering terjadi di Indonesia, disamping banjir. Hampir 80 persen bencana yang terjadi di Indonesia didominasi longsor dan banjir. Hal ini ditegaskan oleh Direktur Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bancana (BNPB), Ir. Medi Herlianto, CES., M.M usai penandatanganan kerja sama dengan Fakultas Teknik UGM, Senin (27/7) di R. Majelis Wali Amanat (MWA).
“Longsor dan banjir masih mendominasi bencana di tanah air sekitar 80 persen,” papar Medi.
Dengan kondisi tersebut BNPB fokus dalam pengurangan resiko bencana longsor salah satunya melalui pemasangan berbagai alat sistem peringatan dini (EWS) di lokasi rentan gerakan tanah. Tahun ini BNPB bersama UGM akan memasang alat EWS di 6 lokasi.
Medi menambahkan beberapa lokasi yang saat ini masih terpapar dengan longsor antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, Papua, dan Bali.
“Penduduk yang terpapar longsor ini kurang lebih mencapai 40,9 juta jiwa. Tahun ini kita pasang EWS di 6 lokasi yang berada di Jawa Tengah dan Bali,” tuturnya.
Ia menegaskan meskipun telah menggandeng perguruan tinggi dalam pemasangan EWS, menurut Medi tidak menjamin berkurangnya korban jiwa. Hadirnya teknologi sistem peringatan dini longsor akan efektif jika disertai sosialisasi di masyarakat. “Makanya peran BPBD dan masyarakat di daerah sangat penting,” imbuhnya.
Sementara itu Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D mengatakan kerja sama antara BNPB dengan UGM merupakan langkah nyata dalam upaya pengurangan resiko bencana di tanah air. Upaya ini akan berhasil jika ada keinginan politik yang kuat dari pemerintah khususnya dalam penggunaan alat-alat deteksi longsor produksi dalam negeri.
“Produk lokal mungkin lebih sederhana tetapi tidak kalah dibandingkan produk luar negeri,” kata Dwikorita.
Rektor menyebutkan alat-alat deteksi longsor produksi dalam negeri sudah diujicobakan di beberapa lokasi yang rentan longsor, seperti Banjarnegara. Hasilnya cukup efektif dan tidak kalah dibandingkan dengan produk dari Jepang.
Dwikorita mengatakan keunggulan lain dari produk EWS buatan UGM selama ini juga telah diperkuat oleh tim lain, baik sosial, budaya maupun psikologi.”UGM juga telah ditunjuk oleh konsorsium internasional longsor sebagai pusat unggulan dunia untuk pengurangan resiko bencana longsor,” tegas Dwikorita.
Seperti diketahui terciptanya alat-alat deteksi dini longsor oleh UGM telah dimulai sejak tahun 2007-2008, ketika Bakornas-PB waktu itu (saat ini menjadi BNPB) dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) ikut membidani lahirnya generasi pertama sistem peringatan dini sederhana buatan UGM yang dipasang di Kabupaten Banjarnegara, Situbondo, dan Karanganyar.
Sampai tahun 2015, sistem peringatan dini generasi ke-3 berupa alat-alat ekstensometer, tiltmeter, inclinometer, penakar hujan, ultrasonic sensor, IP Camera dan sistem telemetri yang dibangun oleh UGM dan memiliki 95% komponen lokal ini telah dipasang di 14 propinsi di Indonesia dan telah diekspor ke Myanmar bekerja sama dengan instansi pemerintah, pihak swasta, perguruan tinggi dan LSM. (Humas UGM/Satria;foto: Budi H)