Diare sampai saat ini masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di sebagian besar negara berkembang, termasuk Indonesia. Penyakit ini juga menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi pada anak terutama di bawah usia lima tahun. Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 mencatat diare masih menjadi penyebab tertinggi kematian bayi yakni sebesar 42 persen.
dr. Sulaiman Yusuf, Sp.A(K), mengatakan diare ini bisa disebabkan karena virus, bakteri, maupun parasit. Sekitar 60-70 persen diare infeksi pada anak dikarenakan rotavirus, sedangkan sekitar 10-20 persen dikarenakan bakteri, dan kurang dari 10 persen disebabkan parasit. “Penyebab kematian utama balita di negara berkembang adalah diare dengan rotavirus sebagai penyebab utama diare infeksi di Indonesia,” jelasnya Rabu (29/7) saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Kedokteran UGM.
Saat mempertahankan disertasi berjudul “Pengaruh Pemberian Zink terhadap Diare pada Tikus yang Diinduksi Lipopolisakarida (LPS) dari E. Coli”, staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala ini menyebutkan diare akibat rotavirus menyebabkan diare berat, dehidrasi, bahkan mengakibatkan kematian. Terapi untuk diare jenis ini diantaranya dengan memberikan zink.
Guna mempelajari mekanisme zink terhadap terjadinya diare, kata dia, dibutuhkan model penelitian dengan hewan coba. Namun begitu, tidak adanya reagensi menjadi kendala dalam pembuatan model hewan coba yang terinfeksi rotavirus. Untuk membuat model hewan coba yang mengalami diare berat seperti akibat rotavirus digunakan LPS dan E.Coli agar bisa mendekati gambaran klinis siare akibat rotavirus.
Lebih lanjut disampaikan Sulaiman, proses inflamasi di usus yang menyebabkan diare terjadi akibat peningkatan pelepasan sitokin proinflamasi TNF-α,IL-1, dan IL-6 yang dipicu paparan LPS dari E. Coli dengan sel epitel mukosa usus serta status zink dalam plasma yang rendah seperti pada bayi atau anak yang mengalami diare. Apabila sitokin proinflamsi ini dikendalikan dengan zink, proses inflamasi di usus yang menyebabkan diare akan membaik.
Dalam penelitian yang dilakukan ia menggunakan rancangan eksperimental di laboratorium dengan memakai 20 ekor tikus putih Spargue dawley jantan yang dibagi dalam 4 kelompok dengan perlakuan yang berbeda. Dari hasil penelitian diketahui kadar zink, superoksid dismutase (SOD) dan hemoglobin lebih tinggi pada tikus kelompok preventif dan kelompok terapi setelah pemberian zink dibandingkan kelompok + LPS terutama di hari ke-4,8, dan 12 yang mengalami diare dan tidak diber zink.
Temuan lain memperlihatkan adanya pengaruh pembverian zink terhadap kadar sitokin proinflamasi. Semakin tinggi kadar zink maka semakin rendah kadar sitokin proinflamasi terutama TNF-α. Namun, kadar IL-1 dan IL-6 di hari ke-8 meningkat pada kelompok preventif dan terapi yang disertai dengan penurunan kemampuan mengkonsumsi pakan.
Tidak hanya itu, disebutkan Sulaiman bahwa terdapat pengaruh antara kadar sitokin proinflamasi TNF-α,IL-1, dan IL-6 terhadap timbulnya diare pada tikus kelompok + LPS. Jumlah sel goblet meningkat saat tikus mengalami diare. “Sementara kadar zink tidak berpengaruh terhadap jumlah sel goblet epitel mukosa usus. Semakin banyak kadar zink semakin banyak jumlah sel goblet demikian pula sebaliknya,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)