Tradisi lisan masih hidup dan berkembang di berbagi etnis di Indonesia. Salah satunya sastra lisan Sinrilik yang berasal dari suku Makasar di Sulawesi Selatan. Hingga kini sinrilik masih digunakan suku Makasar untuk mengungkapkan perasaan, pikiran, gagasan, dan kepercayaan mereka.
Sastra lisan tersebut biasa digunakan dalam berbagai upacara adat, pelantikan, maupun sebagai hiburan di waktu senggang. Namun saat ini penyampaian Sinrilik sudah sangat jarang dilakukan. Pasalnya, masyarakat pendukung tardisi ini yang dikenal dengan pasinrilik jumlahnya semakin berkurang. Bahkan tidak sedikit generasi muda yang tidak mebgenal tradisi lisan ini. “Padahal regenerasi pasinrilik bisa dikatakan tidak berlangsung lagi,” kata Dra. Inriati Lewa, M.Hum., saat ujian terbuka program doktor Kamis (30/7) di Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Inriati menyampaikan sinrilik merupakan sastra lisan berbentuk prosa lirik yang disampaikan dengan cara dilagukan baik dengan atau tanpa alat musik. Salah satu sinrilik yang memiliki kedudukan istimewa diantara sinrilik lainnya adalah Sinrilik Kappalak Tallumbatua (SKT) karena memuat informasi tentang kebesaran raja dan kerajaan Gowa. Juga berisi informasi tentang sikap kepahlawanan, ajaran moral, adat-istiadat, serta kepercayaan yang menjadi cerminan masyarakatnya.
Mempertahankan disertasi berjudul “Sinrilik Kappalk Tallumbatua: Suntingan Teks, Nilai-nilai, dan Resepsinya”, Inriati mengatakan bahwa sinrilik digunakan sebagai media penerima dan pengakuan terhadap seseorang agar dapat diterima sebagai sesuatu yang benar dan tepat untuk memegang kekuasaan. Teks SKT oleh pencerita digunakan sebagai alat untuk menyatukan suku Bugis dan Makasar dalam satu ikatan kekerabatan. “Bagi masyarakat suku Makasar SKT telah dipakai sebagai alat melegitimasi pranata sosial, agama, budaya, dan kekuasaan yang telah menempatkan tokoh Sultan Hasanuddin dan Arung Palaka sebagai tokoh hebat dan kharismatik dalam pikiran dan kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan,” papar dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanudin ini.
Hasil temuan lainnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan cerita, tokoh, dan dalam struktur puisi dan struktur cerita. Hal tersebut terjadi karena adanya penggunaan pola formula dan formulaik dalam membangun cerita yang bertujuan untuk membangun sistem pemaknaan yang sangat dipengaruhi pasinrilik.
Misalnya dalam teks SKT terdapat fakta sejarah mengenai perang Makasar, perebutan kekuasaan antara Sultan Hasanuddin Arung Palakka, dan Belanda. Meskipun memperlihatkan persamaan dalam unsur-unsur yang membangun teks seperti tokoh dan latarnya dengan peristiwa perang Makasar, akan tetapi SKT tidak bisa disamakan dengan persitiwa sejarah perang Makasar. “Teks SKT memang terlihat memberikan informasi kesejarahan, namun tidak mengandung kebenaran historis karena pencerita sudah memasukkan imajinasi dalam cerita SKT sesuai dengan bekal pengetahuannya,” terangnya.
Lebih lanjut Inriati mengatakan SKT sebagai produk sastra lisan sarat dengan nilai-nilai dan fungsi yang berasal dari masyarakat pendukungnya yang masih relevan digunakan saat ini. Sinrilik ini digunakan sebagai alat melegitimasi dan menyatukan budaya, suku, raja, dan kerajaan serta kekuasaan yang menempatkan tokoh Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka sebgai tokoh dan pahlawan dalam benak masyarakat suku Makasar. (Humas UGM/Ika)