YOGYAKARTA – Sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah, peta informasi geospasial (IG) ternyata jarang digunakan sebagai penetapan batas daerah akibatnya sering muncul sengketa batas daerah. Terhitung ada 45 kasus sengketa batas daerah sejak adanya penambahan 205 daerah otonomi baru pada 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota.
Dari hasil penelitian Dosen Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Ir. Sumaryo, M.Si diketahui bahwa kerangka kerja penegasan batas daerah diatur dalam permendagri No 1 tahun 2006 bersifat non linear. Adapun penegasan batas daerah dilakukan melalui kegiatan re-delimitasi yaitu penelitian dokumen, perundingan dan kesepakatan. Tidak memadainya ketersediaan IG pada peta lampiran Undang-Undang Pembentukan Daerah (UUPD) untuk kegiatan penegasan batas daerah sehingga sering menimbulkan kepastian batas daerah secara yuridis.
“Salah satu konsekuensi dari terjadinya pemekaran wilayah adalah perlu adanya penataan kembali batas daerah baik daerah induk maupun daerah otonomi baru hasil pemekaran agar ada kepastian batas kewenangan pengelolaan wilayah,” kata Sumaryo dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Teknik UGM, Kamis (30/7).
Menurut peneliti pertanahan dan batas wilayah ini, pembagian batas wilayah memerlukan infrastruktur informasi geospasial. Peta geospasial ini berperan sangat penting dalam proses dan hasil pembagian wilayah. “Ketersediaan peta menjadi salah satu faktor penentu bagi ada tidaknya sengketa batas wilayah dalam pemekaran daerah,” katanya.
Menurut sumaryo, membagi wilayah secara alami selama ini berpotensi menimbulkan konflik. Dan tidak menutup kemungkinan konflik sengeketa juga terjadi dari cara dan tujuan pembagian wilayah serta minimnya dukungan data yang digunakan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)