YOGYAKARTA – Kebutuhan akan susu di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini produksi susu baru mencapai 775,7 ton atau 20 persen dari total kebutuhan yang mencapai 3.945 ton. Artinya sekitar 80% kebutuhan susu masih impor. Sementara jumlah sapi perah diperkirakan hanya 597.213 ekor dengan rata-rata produksi 11,51 liter per ekor per hari. Padahal dengan target swasembada susu pada tahun 2020, maka setidaknya dibutuhkan sedikitnya 2,3 juta ekor sapi laktasi.
Selain minimnya kepemilikan sapi perah yang menyebabkan rendahnya produksi susu, faktor lain yang tidak kalah penting adalah banyaknya kejadian kasus penyakit radang ambing atau mastitis pada sapi perah. Kejadiannya pun sangat tinggi sehingga menyebabkan produksi susu segar relatif stagnan sehingga peternak tidak terpacu untuk mengembangkan usahanya. “Apabila tidak ada langkah progresif, prosentase produksi susu dalam negeri akan semakin menurun,” kata Prof. Dr. drh. Agnesia Endang Tri Hastuti Wahyuni, M.Si., dalam pidato pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Hewan UGM yang berlangsung di Balai Senat UGM, Selasa (4/8).
Dikatakan Wahyuni, kejadian mastitis dapat menurunkan kuantitas maupun kualitas produksi susu sapi perah. Susus dari sapi perah yang menderita mastitis tidak layak untuk dikonsumsi sehingga harus dibuang. Susu dari ambing sapi yang terkena mastitis mengalami perubahan fisik seperti berubahnya warna menjadi putih pucat atau agak kebiruan. Bahkan rasanya yang agak getir atau sedikit agak asin serta baunya yang menjadi asam. Selain itu, emulsi susu yang berubah menjadi pecah, lebih cair dan disertai adanya endapan fibrin dan gumpalan protein. “Mastitis secara tidak langsung menyebabkan penurunan produksi susu sehingga merugikan peternak,” katanya.
Wahyuni mengatakan kejadian mastitis sublkinis di Indonesia sangat tinggi dan lebih 85 % disebabkan oleh bakteri seperti Staphylococcus, Streptococcus, dan kelompok Coliform. Sampai sekarang pengobatan mastitis di lapangan masih menggunakan antibiotik. Pengobatan dengan menggunakan antibiotik menurut Wahyuni memang semakin jauh dari memuaskan karena adanya risiko resistensi terhadap antibiotik dan residu antibiotik pada susu. Oleh karena itu, imbuhnya, perlu dikembanakan vaksin material mastitis sebagai salah satu upaya pengendalian mastitis.
Wahyuni mengatakan penelitian di Indonesia berpeluang untuk mengembangkan vaksin mastitis. Penelitian yang dilakukannya hampir 17 tahun berhasil mengembangkan vaksin yang didasarkan pada kemampuan adhesi yang kuat terhadap epitel ambing. Vaksin dengan kemampuan antibodi spesifik diketahui mampu menghambat adhesi bakteri penyebab mastitis ke sel epitel ambing sehingga sangat memungkinkan tidak ada atau sedikit bakteri yang hidup dalam ambing. “Vaksin ini diharapkan mampu menjadi solusi pengendalian mastitis subklinis yang efektif dan aman,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)