Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang menjadi daerah endemik demam berdarah dengue (DBD). Bahkan kejadian DBD terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sejak tahun 1980 jumlah penderita terus meningkat secara signifikan dan puncak tertinggi terjadi di tahun 1998 dan mengalami penurunan di tahun-tahun setelahnya.
Dyah Respati Suryo Sumunar, M.Si., mengatakan kondisi musim dan faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap penyebaran penyakit demam berdarah ini. Guna mengetahui daerah yang rentan dan berisiko terhadap penyakit ini, menurutnya diperlukan kajian mengani variasi spasial kejadian demam berdarah ini. Salah satu yang dapat dilakukan dengan menyusun pemodal ekologi. “Pemodelan spasial ekologi ini untuk mengetahui daerah rentan dan berisiko demam berdarah dan juga bisa digunakan sebagai dara untuk melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan melalui sistem kewaspadaan dini,” urainya, baru-baru ini di Fakultas Geografi UGM.
Dosen Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta ini menyampaikan aplikasi teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dapat digunakan untuk menyusun pemodelan spasial ekologi dan sistem kewaspadaan dini terhadap kejadian luar biasa demam berdarah dengue. “Citra penginderaan jauh QuickBird mempunyai kemampuan yangs angat baik untuk ekstraksi data spasial parameter kondisi lingkungan dan memberikan kontribusi tinggi dalam pemodelan spasial ekologi kejadian DBD,” terangnya saat melaksanakan ujian promosi doktor di Fakultas Geografi UGM.
Beberapa parameter lingkungan seperti kepadatan pemukiman, pola pemukiman, dan jarak pemukiman terhadap sungai bisa diektraksi dari citra penginderaan jauh QuickBird. Citra ini memberikan kemudahan interpretasi, memiliki ketepatan akurat dan presisi, dan bersifat praktis. “Parameter kondisi lingkungan pemukiman tersebut dapat disadap dari citra QuickBrird dan bisa dikorelasikan dengan kejadian penyakit DBD,”kata Dyah.
Lebih lanjut dikatakan Dyah, analisis statistik spasial memiliki kemampuan mendeskripsikan sebaran kejadian penyakit DBD dan melakukan pengujian korelasi spasial dengan parameter kondisi lingkungan. Sehingga penetapan parameter terkait dengan sebaran kasus DBD bisa dilakukan melalui gambar yang nyata dengan bukti-bukti kuat. Sementara dari hasil analisis statistik keruangan menunjukkan bahwa sebaran kasus DBD di wilayah pemukiman Kota Yogyakarta memperlihatkan sebaran yang tidak acak.
Mempertahankan disertasi berjudul “Pemanfaatan Citra QuicBird untuk Penyususnan Model Spasial Ekologi Kewaspadaan DIni Kejadian Luar Biasa Penyakit Demam Berdarah Dengue: Kasus di Permukiman Kota Yogyakarta”, Dyah menyampaikan dari hasil model indeks untuk penentuan tingkat kerentanan daerah terhadap kejadian DBD diketahui di Kota Yogyakarta terdapat daerah dengan kerentanan sangat rentan seluas 3.074.978,96 m² (10%) meliputi tiga kecamatan. Sementara daerah dengan kerentanan cukup rentan seluas 6.985.137,391 m² (20%) meliputi empat kelurahan , daerah rentan seluas 14.478.975 m² (42%) meliputi 21 kelurahan, dan daerah tidak rentan seluas 9.627.341,53 m² (28%) terdiri dari 17 kecamatan. “Sebanyak 73,2 persen kasus DBD berada di daerah yang memiliki kelas kerentanan cukup rentan dan tidak rentan,” terangnya.
Sedangkan dari model regresi dengan metode Odinary Least Square, disebutkan Dyah menghasilkan prediksi kasus DBD dengan tingkat akurasi sebesar 88,46 persen. Sementara, model spasial ekologi bisa digunakan untuk menyusun sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa DBD dengan empat simpul yaitu sumber penyakit, media transmisi, kependudukan, dan kejadian penyakit dan faktor cuaca serta iklum yang berpengaruh terhadap semua simpul. (Humas UGM/Ika)