Bulan-bulan terakhir ini berbagai indikasi kepanikan ekonomis Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) dipertontonkan. Indikasi tersebut telah dimulai dari adanya rencana importasi 250.000 ton beras yang dicanangkan dua bulan lalu. Dalihnya adalah keterbatasan cadangan simpanan BULOG yang sudah kurang dari 1 juta ton, dan harga pasar telah menyentuh Rp.3.500/kilogram. Sejumlah kekuatan politik pro-Pemerintahan menyambut bersama dan memberikan legitimasi bahwa Negara harus import beras. Hal tersebut diungkapkan Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc dalam release (21/11/05).
Mengejutkan sekali, tutur peneliti Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM ini, bahwa rencana importasi itu terjadi ketika KIB tengah sibuk-sibuknya promosi dan memamerkan sukses produksi nasional, 2005, sebesar 54 juta ton gabah, setaradengan 34 juta ton beras (lebih besar dari kebutuhan tahunan 31 juta ton), sebagai keberhasilan swasembada beras dan sukses pembangunan pertanian KIB. “Petani tertu saja menolak rencana tersebut, bagai paduan suara, menyambut penolakan itu para petinggi Negara buru-buru menyatakan bahwa tidak pernah ada rencana importasi,†ujar pak Maksum.
Menurut pak Maksum, aneh sekali dan aksi saling lempar pun terjadi, ketika ada rencana importasi, paduan suara pejabat itu memberikan pembenaran. Dan ketika membatalkannya, paduan suarapun muncul dalam nada yang berbeda: menyatakan bahwa tidak pernah ada rencana importasi. “Nampak sekali bahwa sikap politis itu dilakukan untuk mencari muka dalam kepanikan sejumlah petinggi negara yang sedang menghadapi Sang Wasit yang sementara waktu sedang melakukan penilaian bagi perlu tidaknya reshuffle KIB,†terang pak Maksum.
Dosen Jurusan Teknologi Industri (FTP UGM) ini juga menambahkan bahwa di minggu-minggu terakhir, perekonomian nasional diguncang oleh spekulasi negara yang lebih panik lagi mengetahui kenyataan inflasi yang dilaporkan BPS sebesar 8,7 persen untuk Oktober 2005 sebagai akibat dari tarikan pengaruh kenaikan harga BBM. “Pragmatisme negara pun muncul dalam kepanikan itu. Karena peta inflasi mengindikasikan tidak bakal efektifnya pengendalian inflasi melalui kebijakan moneter atau apapun, maka harga pangan langsung dibidik untuk diturunkan: demi menekan inflasi,†tegas pak Maksum. (Humas UGM).