Beberapa isu dan permasalahan perumahan dan pemukiman terus dijumpai di masa lalu hingga saat ini. Selain berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan perumahan, ia juga berkaitan dengan keterbatasan lahan, peminggiran masyarakat lokal, degradasi lingkungan akibat pembangunan perumahan, keterbatasan pembiayaan dan ketidakjelasan kelembagaan yang menangani.
Kebutuhan perumahan dan pemukiman merupakan permasalahan yang dihadapi oleh semua negara di dunia, namun permasalahan tersebut paling banyak terdapat di negara-negara berkembang. Permukiman kumuh, permukiman ilegal hingga banyaknya tunawisma menjadi fenomena yang mudah ditemui di beberapa negara sedang berkembang khususnya di Benua Afrika dan Asia termasuk Indonesia.
“Kegagalan program pemerintah untuk menyediakan perumahan yang terjangkau bagi kalangan masyarakat berpenghasilan rendah mendorong mereka untuk memilih alternatif mendirikan perumahan informal. Tindakan ini didasari kemampuan ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak mampu membeli perumahan formal yang ada di pasaran”, papar Prof. Dr. Su Ritohardoyo, M.A, staf pengajar Fakultas Geografi UGM
Meski telah melakukan beberapa kali menyelenggarakan Konggres Perumahan Rakyat, namun kenyataan pemerintah belum mampu menjawab permasalahan kebutuhan perumahan bagi penduduk. Konggres Perumahan Rakyat sejak tahun 1950, lokakarya Perumahan Nasional pada tahun 1973, 1992 dan 2002 dan terakhir Konggres Perumahan Rakyat tahun 2009.
“Konggres maupun lokakarya yang diselenggarakan sesungguhnya merupakan landasan dalam perumusan kebijakan perumahan rakyat, ternayata belum menunjukkan hasil yang kongkret”, ujar Ritohardoyo.
Dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Geografi UGM dengan mengucap pidato “Strategi Pembangunan Rumah Susun Berkelanjutan” di Balai Senat UGM, Rabu (26/8), Ritohardoyo mengatakan berdasar data sensus tahun 2000, backlog atau kekurangan jumlah bangunan rumah bagi rumah tangga di Indonesia masih cukup besar. Jumlah rumah tangga berdasarkan sensus penduduk tercatat 52,01 juta, sedangkan jumlah rumah tinggal baru mencapai 49,30 juta.
“Data tersebut menunjukkan masih ada kurang lebih 3 juta rumah tangga yang belum memiliki rumah tinggal”, katanya.
Di tahun 2008, menurut Ritohardoyo, dengan jumlah penduduk sekitar 225 juta jiwa maka jumlah kekurangan rumah (backlog) meningkat menjadi 6 juta unit rumah. Pada tahun 2014, kekurangan tempat tinggal (backlog) di Indonesia kembali meningkat menjadi 7,6 juta unit.
Terhadap kecenderungan meningkatnya backlog perumahan ini, Ritohardoyo berharap perlu segera mendapatkan alternatif penyelesaian. Persoalan backlog perumahan di negeri ini saling berpengaruh dengan keterbatasan lahan untuk pemenuhan kebutuhan pembangunan perumahan.
“Keterbatasan lahan dalam hal ini tentu tidak hanya dimaknai sebagai keterbatasan lahan secara fisik, tetapi juga keterbatasan lahan dari sudut penguasaan lahan”, tutur Sekretaris Program Studi s-2 Kependudukan Sekolah Pascasarjana UGM. (Humas UGM/ Agung)