YOGYAKARTA – Guru Besar Fakultas Farmasi UGM Prof. Dr. Umar Anggara Jenie merupakan satu di antara 14 tokoh nasional mendapatkan penghargaan dari Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamis (27/8), di Jakarta. Umar, demikian ia akrab dipanggil, menerima penghargaan UNESCO di bidang sains. Selain Umar, dua orang tokoh penerima penghargaan yang sama adalah Prof. Sangkot Marzuki dan Prof. Indrawati Gandjar.
Ditemui di ruang kerjanya di Fakultas Farmasi UGM, Senin (14/9), Umar mengatakan penghargaan yang diterimanya merupakan apresiasi dari UNESCO atas kiprahnya telah mengembangkan bidang sains di Indonesia. Salah satu yang pernah dirintis oleh Umar adalah memfasilitasi para ilmuwan muda untuk mengikuti Lindau Nobel Laureate Meeting sepanjang tahun 2004 hingga 2008. Ketika itu ia masih sebagai ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Menurutnya, pertemuan itu sangat prestisius karena mempertemukan para ilmuwan muda yang berumur kurang dari 40 tahun dari negara dunia berkembang dengan para tokoh peraih nobel bidang fisika, biologi dan kedokteran. “Saat itu saya pernah berhasil mengirim 15 orang peneliti muda Indonesia setiap tahunnya dalam pertemuan tersebut,” ujarnya.
Dikatakan Umar, tidak mudah bagi ilmuwan muda bisa mengikuti pertemuan tahunan yang digelar di sebuah pulau di Jerman tersebut. Paling tidak salah satu syaratnya memiliki reputasi dalam publikasi riset sains. “Ilmuwan yang mengikuti ini memiliki reputasi baik dalam publikasi dan kemampuan berkomunikasi,” kata pria kelahiran Solo 65 tahun lalu ini.
Bagi Umar, apa yang dilakukannya bukan semata-mata menjalankan program UNESCO, melainkan mendorong ilmuwan muda menimba pengalaman lebih banyak dengan para peraih nobel di bidang sains. Lewat pertemuan itu pula memungkinkan para ilmuwan membangun kerja sama peneliti antarnegara. “Pengalaman tidak hanya ikut pertemuan, kita bisa menjalin kerja sama dan menggunakan fasilitas laboratorium riset dari negara maju,” tuturnya.
Meski demikian, Umar menyesalkan jika pengiriman ilmuwan muda dari Indonesia ke Lindau Nobel Laureate Meeting ini tidak diteruskan lagi sejak sepeninggalan dirinya sebagai ketua LIPI. Ia berharap program semacam ini bisa dilanjutkan kembali karena dalam pertemuan tersebut ilmuwan dari Indonesia dapat mengetahui tangga karier sesorang peneliti untuk bisa meraih hadiah nobel. “Tentu bisa menginspirasi mereka untuk terus meneliti,” terangnya.
Selain itu, Umar mengatakan ia melaksanakan program UNESCO lainnya dalam pengembangan basic science di Indonesia. Menurutnya banyak peneliti di Indonesia bahkan di negara dunia ketiga tidak banyak tertarik dengan riset penelitian dasar, mereka lebih banyak tertarik pada riset ilmu terapan. Padahal menurut Umar penelitian dasar merupakan kunci bagi sebuah bangsa dalam penguasaan ilmu sains. “Banyak program yang sudah diterapkan di Indonesia. Salah satunya yang berhasil kita lakukan dengan mengajak UNESCO untuk mendirikan pusat riset ekohidrologi dunia di tingkat Asia Pasifik,” katanya.
Menyinggung dengan perkembangan kemajuan sains di tanah air, Umar mengatakan kemajuan sains di Indonesia tidak kalah dengan negara lain. Namun minimnya fasilitas dan pendanaan menyebabkan banyak peneliti yang setelah berhasil mengambil doktor sains di luar negeri, setelah pulang ke tanah air, tidak bisa mempraktikkan ide dan ilmunya. “Kita bisa maju dan berkembang dengan membentuk kerja sama terbuka dengan negara lain. Bisa dikatakan selama ini memang agak kurang,” paparnya.
Menurutnya bagi anak bangsa setelah selesai menyelesaikan pendidikan doktor di luar negeri seharusnya diberi kesempatan untuk mengembangkan karirnya baik di Indoenaisa maupun di luar negeri. Hal itu yang dilakukan India dimana para ilmuwan mereka saat ini banyak bekerja di lembaga riset dan beberapa universitas terkemuka di dunia. Menurutnya hal itu lebih penting ketimbang ilmuwan muda tidak bisa merealisasikan apa yang diinginkannya. “Orang pintar itu seperti orang gila, segera ingin melaksanakan idenya, tentu dengan fasilitas yang baik dan dana yang cukup. Kalo ke sana (bekerja) baik-baik, biarkan saja. Seperti Habibie dan Sangkot (Sangkot Marzuki), mereka mau kembali, mau mendidik anak-anak kita,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)