Sejak tahap perancangan, Undang-Undang Ketenagakerjaan memang telah menimbulkan kontroversi di masyarakat. Salah satunya, karena pasal-pasal dalam ketentuan mogok dipandang mereduksi hak mogok. Isi Undang-Undang Ketenagakerjaan bukan untuk memperbaiki hukum perburuhan yang lemah, namun untuk melanggengkan politik hukum perburuhan yang memelihara pekerja murah secara ekonomi dan patuh secara politik.
Menurut Prof. Dr. Ari Hernawan, SH., M.Hum, staf pengajar Fakultas Hukum UGM, Undang-Undang Ketenagakerjaan berkeinginan mengintegrasikan kebijakan ketenagakerjaan dan hubungan industrial. Bahwa kebijakan ketenagakerjaan lebih ditujukan pada bagaimana mengelola perkembangan angkatan kerja, pengembangan SDM, dan pasar kerja.
Bahwa hubungan Industrial lebih menekankan pada bagaimana membuat perlindungan hukum dalam hubungan kerja antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah mewakili negara. Pengaturan dua bidang tersebut dalam satu perundangan tentu akan menimbulkan gesekan antara asas hukum perburuhan yang ingin melindungi pekerja dengan kepentingan menjamin pertumbuhan industrialisasi yang mensyaratkan perluasan lapangan kerja melalui penyediaan pekerja yang murah, terampil, dan patuh.
“Tentu saja, para pelaku dalam hubungan industrial memiliki kepentingan yang berbeda dalam hal mogok kerja”, katanya saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Hukum UGM, di Balai Senat, Selasa (22/9).
Mengucap pidato pengukuhan “Keberadaan Hak Mogok Kerja dalam Konstelasi Politik Hukum Perburuhan Indonesia”, Ari Hernawan menyatakan dari perspektif pekerja/ serikat pekerja, mogok dikonsepkan sebagai hak fundamental yang pada dasarnya merupakan alat penyeimbang terhadap kekuatan pengusaha yang secara sosial ekonomis lebih kuat dari pekerja. Sementara, dari perspektif pengusaha, mogok dikonsepkan sebagai salah satu gangguan terhadap ketenangan usaha atau menghambat proses produksi sebagai akibat hilangnya jam kerja serta kerugian materiil lainnya.
Dari perspektif negara atau pemerintah, mogok dikonsepkan sebagai salah satu faktor yang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional, stabilitas politik dan salah satu faktor penghambat masuknya modal asing. Posisi negara pun sulit untuk netral dan serba dilematis dalam menangani persoalan mogok kerja.
“Pada satu sisi, negara harus menarik investor dan memenuhi syarat yang ditawarkan investor dan di sisi lain harus memperbaiki kondisi perburuhan. Tugas seperti itu tidak mudah dilakukan oleh negara-negara berkembang yang berada di persimpangan antara tuntutan masyarakat dan kebutuhan pembangunan ekonomi”, ujar Ari Hernawan.
UU Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian mogok meliputi kegiatan dan prosedurnya. Meski begitu, mogok sah menjadi sulit dilaksanakan karena prosedurnya yang ketat. Karena itu, diperlukan ketentuan hukum yang menetapkan keabsahan mogok tidak hanya dilihat dari prosedurnya, namun substansinya.
“Hal tersebut perlu didukung oleh mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, murah dan tidak memihak. Penyelesaian perselisihan alternatif sebagai mekanisme penyelesaian perburuhan di luar pengadilan yang dijiwai semangat kerjasama, diharapkan dapat menekan atau memperkecil kemungkinan terjadinya pemogokan”, paparnya. (Humas UGM/ Agung)