YOGYAKARTA – Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memasang alat deteksi longsor di Desa Batu Dinding, Kintamani, Bali. Empat buah alat Early Warning Ssytem (sistem peringatan dini) ini dipasang di daerah perbukitan Kintamani pada pekan lalu. Pemasangan alat tersebut diharapkan bisa mengurangi dampak risiko bencana longsor di daerah yang dianggap rentan terjadi proses gerakan tanah pada saat musim penghujan. “Kita sudang memasang alat itu pekan lalu, selama 4 hari kita menentukan beberapa titik lokasi dengan melibatkan tim geologi, tim teknik sipil dan tim sosial serta tim mitigasi bencana,” kata salah satu anggota Tim Geologi UGM, Dr. Wahyu Wilopo, saat dihubungi hari Rabu (28/10) di Kampus UGM.
Menurut Wahyu pemasangan alat EWS ini berdasarkan permintaan masyarakat ke BNPB yang kemudian ditindaklanjuti oleh UGM. “Alat yang dipasang atas permintaan masyarakat setempat, BNPB biasanya menyeleksi daerah mana saja yang menjadi prioritas untuk dipasang,” ungkapnya.
Menindaklanjuti setiap usulan pemasangan alat deteksi longsor, kata Wahyu, tim dari UGM langsung menuju desa Batu Dinding. Bahkan, setelah alat tersebut dipasang, masyarakat diajak mengikuti pelatihan untuk mengetahui cara kerja alat, pelatihan mitigasi dan menentukan jalur evakuasi apabila alat EWS itu mendeteksi apabila ada ancamana bahaya longsor.
Alat deteksi longsor dari UGM yang dipasang terdiri ektensometer, tilmeter dan curah hujan. Namun, sebelum alat tersebut dipasang, tim dari UGM melakukan kajian peta lokasi daerah risiko rawan bencana. “Kita menentukan lokasi mana saja yang kita anggap berisiko terancam,” katanya.
Tidak hanya itu, kata Wahyu, pihaknya kemudian membentuk kelompok siaga bencana yang anggotanya warga setempat. Mereka juga dilatih untuk melakukan perawatan alat tersebut, mengetahui cara kerja alat dan prosedur tetap proses mitigasi dan evakuasi jika terdapat ancaman bahaya. Hal tersebut bisa diketahui setelah sirine berbunyi ketika mendeteksi adanya gerakan tanah di sekitar tebing.
Menurut Wahyu alat EWS ini mampu mendeteksi gerakan tanah hingga 1 milimeter, namun begitu deteksi gerakan tanah menyesuaikan kondisi lokasi geologi dan struktur tanah tersebut. Wahyu menyebutkan, selain di Bangli, lebih dari 100 unit alat peringatan dini telah diaplikasikan di 14 provinsi Indonesia dan sejumlah perusahaan tambang di luar negeri.
Dihubungi secara terpisah, Nyoman Tinem (44), salah satu tokoh masyarakat Desa Batu Dinding mengatakan daerahnya merupakan daerah rawan bencana longsor, terutama terjadi di kala musim penghujan. Dia mengaku senang karena alat deteksi longsor tersebut dipasang di lokasi yang berdekatan dengan danau Batur Kintamani.“Musim penghujan sering terjadi longsor di sini, banyak tebing,” katanya,
Ia menyebutkan ada 300-an kepala keluarga yang tinggal di desa tersebut dan sebagian besar berprofesi sebagai petani sayur-mayur. Mereka juga memiliki ladang di daerah lahan dengan kemiringan yang cukup esktrim. “Hampir 90 persen mereka adalah petani sayur-mayur seperti tanam cabai, bawang dan tomat,” kata pria yang mengaku dilibatkan saat pemasangan alat tersebut.
Nyoman berharap alat dari UGM ini bisa mengurangi dampak risiko bahaya longsor. Meskipun demikian, ia berharap sirine dari alat tersebut tidak berbunyi sebagai tanda ancaman bahaya. “Kalaupun berbunyi berarti kita dapat informasi akan tanda ada bahaya,” pungkasnya (Humas UGM/Gusti Grehenson)