Kesehatan jiwa masih menjadi persoalan serius kesehatan global. Demikian pula di Indonesia, persoalan kesehatan jiwa dari tahun ke tahun semakin serius. Data Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai 1,7 per mil. Artinya, 1-2 orang dari 1.000 penduduk di Indonesia mengalami gangguan jiwa berat.
Prof. Drs. Subandi, M.A, Ph.D., mengatakan masalah gangguan dan kesehatan jiwa memiliki dimensi cukup kompleks. Kesehatan jiwa tidak hanya terkait masalah medis atau psikologis semata, tetapi juga mempunyai dimensi sosial budaya sampai dimensi spiritual dan religius.
“ Faktor budaya bisa memberikan pengaruh terhadap timbulnya dan kekambuhan gangguan jiwa,”jelasnya saat menyampaikan Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang Psikologi Klinis Fakultas Psikologi UGM di Balai Senat UGM, Selasa (27/10).
Menyampaikan pidato berjudul “Kesehatan Jiwa Dalam Perspektif Budaya dan Agama”, Subandi mengatakan faktor budaya juga berperan penting dalam proses kesembuhan dan pemulihan penderita gangguan jiwa. Hasil penelitian lintas budaya yang dilakukan WHO menunjukkan bahwa proses perjalanan gangguan jiwa skizofrenia di negara berkembang jauh lebih baik dibandingkan negara maju, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Berbagai dugaan muncul terkait hasil tersebut, salah satunya karakter masyarakat negara maju yang bersifat indiviudalistik sehingga kurang memberikan dukungan sosial dibandingkan masyarakat negara berkembang yang bersifat kolektif. Sementara itu di negara berkembang banyak ditemukan onset (proses munculnya) gangguan jiwa yang cenderung cepat mempengaruhi kesembuhan dengan cepat.
Ia menjelaskan hingga saat ini belum ada penelitian empiris terkait kesembuhan gangguan psikosis di Indonesia. Namun, dari cerita rakyat masyarakat Jawa yang mengamati fenomena gangguan jiwa, seperti Suminten Edan, bisa diketahui stresor terbanyak penyebab gangguan jiwa adalah masalah keluarga, termasuk gagal menikah. Dari penelitian yang dilakukan Godd dan Subandi (2000) diketahui dari 391 kasus yang ditemukan stresor yang paling banyak berasal dari keluarga, kemudian diikuti masalah pendidikan, hubungan lawan jenis, dan masalah pekerjaan. Selain itu, onset yang timbul pada kasus Suminten sangat cepat dengan proses kesembuhan yang relatif cepat pula.
Subandi menyampaikan dalam proses penyembuhan penderita gangguan jiwa, munculnya rasa malu atau isin menjadi sebuah penanda awal dalam proses kesembuhan. Pasalnya, orang yang mengalami gangguan jiwa dapat dikatakan sebagai orang yang telah kehilangan rasa malu.
“Begitu penderita mulai merasa malu berarti muncul kesadaran diri dan lingkungannya serta bisa mengontrol perilakunya,”jelasnya.
Dimensi budaya Jawa lain yang terkait dengan kesembuhan dari gangguan jiwa di masayarakat Jawa adalah nilai budaya ngemong. Ngemong dalam hal ini menunjukkan sikap toleran, penuh perhatian, penuh kasih sayang, dan penerimaan positif atas perilaku agresif dan impulsif pada keluarga dan masyarakat luas. Menurut Subandi, konsep ngemong ini bisa dipakai sebagai salah satu nilai dasar sistem pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Hal ini dilakukan dengan mengintegrasikan berbagai profesi kesehatan jiwa dalam sebuah sistem yang saling memahami dan menghargai dalam menangani penderita gangguan jiwa. Dengan demikian, dapat mengurangi rehospitalisasi dan meningkatkan fungsi sosial penderita.
“Ngemong hubungan antar profesi kesehatan jiwa, ngemong antar institusi untuk ngemong penderita ganguan jiwa dan keluarga,”katanya.
Lebih lanjut Subandi mengatakan dalam sistem perawatan kesehatan jiwa juga perlu memperhatikan dimensi keberagamaan. Dalam setiap agama terdapat tradisi spiritualitas yang dapat berkontribusi pada pengembangan konsep dan praktik kesehatan jiwa. Misalnya, tradisi tasawuf dalam Islam yang banyak dipraktikkan di masyarakat hingga sekarang. Dalam tasawuf, konsep penyakit hati ditengarai dengan adanya perasaan iri, benci, curiga, cemburu, marah, dendam, sombong, pamer dan lainnya. Konsep tersebut sangat dekat dengan konsep psikologi Barat, yakni emosi negatif. Karenanya, upaya untuk menyandingkan kedua ilmu dari kedua tradisi tersebut perlu dikembangkan. Ilmu tasawuf akan menjadi aktual apabila menggunakan pendekatan-pendekatan psikologi modern.Sementara perspektif tasawuf bagi psikologi dapat mengarahkan psikologi kepada nilai-nilai kebaikan yang bermanfaat untuk kesejahteraan orang banyak. (Humas UGM/Ika)