Tri Yuliati, S.K.M., pranata laboratorium pendidikan di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) UGM dinobatkan sebagai laboran berprestasi terbaik tingkat nasional 2015. Ia berhasil mengungguli Sofyan dari Institut Pertanian Bogor yang menduduki peringkat kedua, sedangkan laboran dari Universitas Indonesia, yaitu Tri Kurniawati berada di posisi ketiga.
Penghargaan tersebut diberikan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi dalam pemilihan Dosen dan Tenaga Kependidikan Berprestasi (28/10). Penghargaan diberikan untuk enam kategori, yaitu dosen berprestasi, kaprodi berprestasi, laboran berprestasi, pustakawan berprestasi, tenaga administrasi berprestasi, dan pengelola keuangan berprestasi.
Yuli, begitu biasa disapa, berhasil menjadi laboran terbaik tingkat nasional setelah berhasil menyisihkan 42 laboran dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Kemenangannya di tingkat nasional diawali dengan terpilihnya dirinya menjadi laboran terbaik tingkat universitas. Berkompetisi di tingkat nasional, Yuli harus bersaing dengan 42 laboran lainnya. Selanjutnya, disaring menjadi 15 orang finalis yang berhak maju ke babak final. Adapun seleksi yang dilakukan meliputi seleksi administrasi, presentasi karya tulis, dan focus group discussion.
Menang Berkat Buntut Tikus
Penghargaan yang diraih Yuli tidak lepas dari karya tulis yang dipresentasikannya berjudul “Pemanfaatan Kolagen Buntut Tikus Sebagai Bahan Adhesi Sel Pada Beberapa Kultur Primer”. Wanita kelahiran Kediri, 4 Juli 1964 ini menuturkan bahwa pemanfaatan kolagen buntut tikus sebagai bahan adhesi sel pada sejumlah kultur primer merupakan sebuah terobosan baru yang dapat menjadi solusi mahalnya bahan adhesi pabrikan.
Selama ini untuk kebutuhan penggunaan bahan adhesi dipenuhi dengan produk impor dengan harga yang mahal. Untuk bahan adhesi sekitar 50 mikro gram biasanya dijual dalam kisaran antara Rp. 10-12 juta yang hanya bisa digunakan untuk 50 kali pakai.
“Tidak hanya mahal, tetapi untuk memperoleh bahan ini tidak bisa langsung didapat karena harus inden. Bisa menunggu hingga 3-6 bulan baru bisa dapat,”urainya, Senin (2/11) saat ditemui di ruang kerjanya di Lab. Bagian Biologi Molekuler, Imunologi, dan Kultur Sel LPPT Unit I UGM.
Kondisi itu mendorong Yuli untuk berinovasi mengembangkan bahan adhesi baru yang mudah didapat dan terjangkau. Ia pun melakukan sejumlah eksperimen menggunakan berbagai bahan dan akhirnya formula terbaik diperolehnya saat memanfaatkan buntut tikus rumah.
“Buntut tikus ini yang paling bagus sebagai bahan adhesi atau pelekat untuk kultur primer,”jelasnya.
Pengembangan kolagen buntut tikus sebagai bahan adhesi sangat menjanjikan di masa mendatang. Pasalnya, bahan kolagen dari buntut tikus keberadaanya melimpah di Indonesia. Tidak hanya itu, dengan pengembangan di dalam negeri bisa menekan harga produksi sehingga bisa diperoleh dengan harga relatif lebih murah.
“Dalam ukuran mikro liter bahan adhesi mungkin hanya membutuhkan biaya produksi sekitar Rp. 100 ribu saja. Sangat jauh lebih murah dan dengan jumlah yang lebih banyak dari produk impor,”terangnya.
Lebih lanjut ia mencontohkan, dari 10 buntut tikus rumah bisa dipakai lebih dari 500 kali. Dalam pembuatannya pun tergolong tidak rumit dan bisa dilakukan dalam waktu relatif singkat. Misalnya saja untuk membuat bahan adhesi dari 1-2 buntut tikus hanya membutuhkan waktu 3 hari saja.
Pengembangan kolagen buntut tikus sebagai bahan adhesi untuk kultur primer telah dilakukan sejak 1995 silam. Namun, terus dikembangkan hingga saat ini pada beberapa kultur primer. Inovasi ini sudah banyak digunakan oleh mahasiswa, peneliti, dosen, maupun praktisi di bidang kesehatan, baik lingkungan UGM maupun luar UGM untuk mendukung penelitian yang dilakukan. Ia bahagia karena inovasinya bisa membantu keberhasilan penelitian mereka.
“Rencana kedepan akan dipatenkan,”kata Yuli yang sudah 20 tahun terakhir menekuni bidang kultur primer ini.
Sebagai laboran, Yuli termasuk aktif mengembangkan sejumlah inovasi di bidangnya. Selain memanfaatkan buntut tikus untuk bahan adhesi, ia juga berinovasi mengembangkan filter sel jaringan besar dengan saringan teh berbahan stainless steel, pemanfaatan bahan limbah pada kultur fibroblast sebagai grow factor pada sel mikrofag manusia dan masih ada beberapa lainnya.
Menurutnya, sebagai seorang laboran banyak peluang untuk melakukan inovasi. Kesempatan melakukan berbagai percobaan sangat terbuka lebar untuk menghasilkan sesuatu hal yang baru dan bermanfaat.
Dengan penghargaan yang diraih, Yuli berharap bisa menginspirasi dan mendorong karyawan lainnya, terutama laboran untuk menghasilkan prestasi dengan melakukan inovasi-inovasi di bidang masing-masing.
“Terus menggali berbagai kemungkinan yang bisa dilakukan di lab. masing-masing. Banyak hal yang bisa dilakukan di lab. dan berinovasilah,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)