Keberadaan kaum LGBT atau yang dikenal dengan kaum queer telah mendapat pengakuan di Amerika Serikat. Bahkan, belum lama ini pemerintah Amerika Serikat telah melegalkan perkawinan sesama jenis di seluruh negara bagiannya itu.
Pada awalnya, kaum queer baik gay maupun lesbian, merupakan kelompok minoritas yang tertindas. Namun, mereka terus berjuang dan muncul ke ranah publik untuk memperjuangkan hak-hak sosial mereka. Bahkan, mendirikan organisasi-organisasi yang memperkokoh keberadaan komunitas itu. Beberapa organisasi seperti Mattachine Society, Daughters of Bilitis, Gay Liberation Front, serta Gay Activist Alliance merupakan potret organisasi yang berhasil menjadi wadah perjuangan kaum queer sehingga berhasil meminimalkan tindakan kekerasan dan diskriminasi sosial-politik oleh masyarakat, institusi keagamaan dan pemerintah.
“Ada variasi keberhasilan perjuangan pada masing-masing organisasi tersebut,” kata
Dhaniar Th. Musa, Kamis (19/11) saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM.
Mempertahankan disertasi berjudul “ Perjuangan Kaum Queer di Amerika Serikat Pada Tahun 1960-an dan 1970-an”, dosen Jurusan Pariwisata, Politeknik Negeri Manado ini menuturkan keberhasilan yang dicapai Mattachine Society menunjukkan profesionalitas pemimpin dalam menciptakan ruang sosial yang efektif bagi pergerakan organisasi. Meskipun pada saat itu kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat Amerika relatif kurang kondusif. Namun, strategi pergerakan bawah tanah yang diadopsi dari partai komunis dan diterapkan oleh pemimpin organisasi ini menunjukkan hasil optimal. Hal tersebut terlihat dari keberhasilan pemimpin organisasi menghimpun para gay dan lesbian di LA-California bergabung menjadi anggotanya dan menjadi penggerak pendirian organisasi serupa di wilayah lainnya seperti berdirinya Daughters of Bilitis di San Fransisco.
“Keberhasilan organisasi ini juga didukung profesionalitas pemimpin dan anggotanya dalam memanfaatkan koran One sebagai media publikasi untuk menyebarluaskan informasi terkait pergerakan aktivitas mereka,” paparnya.
Faktor pemimpin yang profesional dalam menggerakkan organisasi juga ditemukan pada Daughters of Bilities. Pemimpin organisasi ini berhasil menciptakan dan mengembangkan ruang sosial yang efektif bagi komunitas mereka. Selain itu, juga didukung kemampuan pemimpin dalam membentuk pola pikir para anggotanya sehingga nilai-nilai yang diterapkan benar-benar dipahami untuk diimplementasikan dalam kehidupan mereka.
“Hal serupa juga terjadi pada organisasi Gay Activist Alliance yang berhasil menciptakan ruang sosial yang lebih teratur,” jelasnya.
Sementara itu, organisasi Gay Liberation Front merupakan organisasi yang penuh dengan konflik baik internal maupun eksternal. Para perintis organisasi ini kurang berhasil menciptakan ruang sosial yang efektif bagi para pengikutnyakarena tidak ada pemimpin organisasi yang tetap dan struktur organisasi yang tidak tertata dengan baik.
“Kendati demikian, organisasi ini mampu menciptakan jaringan sosial yang efektif yang menghubungkan para aktivis gay dan lesbian,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)