Tomboi mengacu pada identitas gender anak perempuan yang dianggap menyimpang dalam masyarakat yang menganut norma heteroseksual. Tomboi dianggap praktik deviasi identitas gender karena dinilai tidak sesuai dengan yang sudah ada di dalam masyarakat.
Anak-anak yang tomboi umumnya menunjukkan identitas gender yang berbeda dari anak perempuan lainnya yang dianggap ‘normal’. Ketidaknormalan anak tomboi antara lain ditunjukkan dengan penolakan atau ketidakpatuhannya terhadap nilai dan aktivitas yang feminim, serta keinginannya untuk menguasai kualitas maskulin.
Menurut Else Liliani, dosen Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), wacana tomboi dalam novel anak menggambarkan adanya interseksi antara lokalitas dan globalitas. Deviasi gender yang terjadi dalam masyarakat Indonesia bukan sesuatu yang baru.
Praktik-praktik deviasi gender tersebut dapat ditemukan dalam masyarakat tradisional dan modern. Artinya, ketomboian sebenarnya sebuah gejala yang dapat ditemukan dalam masyarakat tipe manapun.
“Ketomboian merupakan perwujudan ideologi kebebasan, perlawanan terhadap dominasi nilai feminim dan maskulin, serta imaging gender future,” ujarnya di Auditorium Margono, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Senin (30/11).
Else Liliani mengatakan hal itu saat melaksanakan ujian terbuka Program Doktor, Bidang Ilmu Sastra, Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora FIB UGM. Didampingi promotor Prof. Dr. Siti Chamamah Soeratno dan ko-promotor Prof. Dr. Juliasih K., S.U, promovenda mempertahankan disertasi berjudul Karakter Tomboi Dalam Novel Anak: Analisis Wacana Feminis Terhadap Novel Tomboy Girl, My First Make Up, Kado Untuk Ummi, dan Best Friends Forever.
Else mengungkapkan ketomboian merupakan representasi kebebasan setiap individu untuk memilih identitasnya dalam masyarakat yang heterogen dan modern. Ketomboian dinilai sebagai kebenaran yang diyakini individu untuk menolak hegemoni feminitas yang mengekang individu untuk meraih maskulinitas yang dianggap unggul dalam masyarakat yang heteroseksis.
“Ketomboian dalam hal ini menjadi upaya untuk meraih keseimbangan gender yang harus dimiliki oleh setiap individu untuk bertahan dalam masyarakat global yang penuh persaingan. Karena itu, ketomboian menjadi imaging gender future yang diharapkan dimiliki oleh anak-anak perempuan,” jelasnya.
Else berpandangan pergulatan identitas dan relasi kuasa yang tampak dalam novel-novel anak yang dikaji menunjukkan novel-novel anak merupakan novel yang rupture. Disebut rupture karena selain menolak feminitas dan merangkul maskulinitas, novel-novel anak ternyata melakukan pemujaan dan kepatuhan terhadap identitas gender yang telah diatur dalam masyarakat heteroseksis.
“Kemunculan tokoh tomboi dalam novel anak merupakan perwujudan pesan tomboi bukanlah suatu identitas gender yang diharapkan muncul dalam masyarakat yang heteroseksis,” terangnya.
Wacana ketomboian dalam novel anak, disimpulkan Else, dinilai sebagai upaya untuk mendemistifikasi nilai-nilai gender tradisional di masyarakat. Feminitas bukan harga mutlak bagi seorang perempuan untuk terlihat lebih normal. Anak perempuan berhak untuk memilih kualitas dan pengalaman yang sama dengan anak laki-laki.
“Novel anak yang mengemukakan tokoh tomboi di dalamnya juga dapat dipandang sebagai upaya penulis anak untuk melakuka proses re-doing dan un-doing gender. Tidak dapat dipungkiri bacaan anak-anak saat ini lebih melanggengkan norma heteroseksual yang pada akhirnya mengarahkan anak-anak untuk berlaku feminim dan anak lelaki harus berlaku maskulin,” papar Else (Humas UGM/ Agung)